Oleh :
Drs. Syaifuddin Zuhri, SPdI. MMPd.
Abstraksi
Jaman terus bergulir dan berubah. Revolusi informasi dan globalisasi datang laksana air bah. Informasi adalah satu hal dan globalisasi adalah hal lain, namun kedua perkara yang berbeda tersebut selalu bersinergi untuk memberikan kesempatan, pilihan dan konsekuensi yang tidak selalu mudah bagi setiap individu maupun kelompok individu hingga bahkan komunitas ummat, bangsa dan negara. Itulah sebabnya ada kalangan yang siap dalam menghadapi kedua perkara tersebut dan sublim di dalamnya. Sebaliknya ada tidak sedikit kalangan yang harus berhadapan dengan pilihan-pilihan sulit dan tidak siap menerimanya. Secara urutan dalam alur waktu, banjir informasi memang nyata melahirkan konsekuensi logis bagi munculnya globalisasi dan bukan untuk sebaliknya.
Dunia pendidikan juga dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak kalah peliknya. Dunia pendidikan Islam, sebagai sebentuk paradigma manajemen tersendiri, juga tidak jarang berhadapan secara diametral terhadap sejumlah pilihan dan tuntutan yang bersifat tidak saja substansial tetapi juga eksistensial. Bertahan pada status-quo tidak selalu berujung pada akhir yang bertahan, bahkan sering sebaliknya. Apa dan bagaimana persoalan dunia pendidikan Islam di tengah pusaran arus informasi dan globalisasi yang deras membanjiri seluruh permukaan planet bumi ini ?. Apa yang harus dilakukan untuk tetap bertahan dan eksis di dalamnya ?.
Pendidikan Islam: Dunia dengan Unikum Tersendiri.
Pertumbuhan satuan-satuan pendidikan di Indonesia memperlihatkan angka yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Dalam tataran kuantitas maupun kualitas, demikian juga dalam hal keragaman program studi yang ditawarkan, juga memperlihatkan kecenderungan yang tidak berbeda. Berubah dalam hirarki waktu. Soal kualitas antara yang satu dengan yang lain sangat beragam tetapi semua sama dalam satu hal, yaitu sama-sama berusaha saling meningkatkan diri. Ini menjadi mozaik tersendiri di dunia pendidikan. Semua tumbuh dan berkembang dengan irama sendiri-sendiri tetapi tetap dalam koridor yang disepakati. Dunia pendidikan Islam masuk dalam konteks tersebut.
Seperti umumnya dunia pendidikan di berbagai tempat, di Indonesia juga tersedia jalur pendidikan yang terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal. Semuanya ada untuk dapat saling melengkapi dan memperkaya. Secara penjenjangan, untuk jalur pendidikan yang berada dalam ranah formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi dengan ketersediaan jenis pendidikan yang mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi keagamaan dan khusus. Ini patut disyukuri walaupun di sana sini masih banyak yang harus dilakukan pembenahan, perbaikan dan peningkatan secara terus-menerus. Jalur, jenjang dan jenis pendidikan yang ada dalam praktiknya dapat diwujudkan dalam bentuk satuan-satuan pendidikan. Dalam hal penyelenggaraan, satuan-satuan pendidikan ini dapat diselenggarakan baik oleh pemerintah, pemerintah daerah dan atau masyarakat.
Berkaitan dengan pendidikan tinggi yang ada di tanah air, maka pendidikan tinggi selalu merupakan jenjang pendidikan lanjutan setelah pendidikan menengah baik yang berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat. Sementara itu, pendidikan tinggi memiliki cakupan program beragam yang meliputi pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis dan yang tertinggi adalah doktor.
Sebagai satuan pendidikan tertinggi, perguruan tinggi dapat merumuskan bentuknya sendiri baik berupa Akademi, Politeknik, Sekolah Tinggi, Institut atau Universitas. Di dalam semua bentuknya, maka tidak ada perguruan tinggi yang dibebaskan dari kewajibannya untuk menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Istilah populernya adalah Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Sebagai rumusan definitif, pendidikan itu sendiri – dalam jenjang manapun – merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara[1].
Adapun menyangkut jenjang, jenis dan bentuk pendidikan yang ada di Indonesia – bahkan di manca negara – pendidikan Islam bisa masuk dan sublim di dalamnya. Artinya mudah ditemukan pendidikan Islam – atau pendidikan yang mengambil Islam sebagai spirit dan ruh bahkan model manajemennya – dalam semua jenjang, jenis dan bentuk pendidikan yang ada. Hal demikian tidak terlampau berlebihan karena Islam itu sendiri pada dasarnya merupakan suatu entitas keagamaan yang sangat cair dan kental dengan semangat ilmu dan pendidikan.
Mengada Karena Tuntutan dan Kebutuhan.
Persoalan pendidikan di tanah air terlalu luas untuk dikaji dalam hanya satu kesempatan. Untuk itu, pembahasan yang berkaitan dengan topik tersebut dibatasi pada masalah-masalah pendidikan di jenjang pendidikan tinggi. Itupun tidak semua program studi yang ada di perguruan tinggi ditinjau satu per satu. Bila skup yang sangat luas itu dibiarkan dalam keluasannya tanpa pembatasan hanya akan menyodorkan sebentuk jebakan berupa pembahasan yang berputar-putar dalam garis besarnya saja. Tidak memiliki kedalaman. Namun agar tidak kehilangan akarnya maka pembahasan tentang pendidikan tinggi tadi dilengkapi dengan nukilan jenjang-jenjang pendidikan di bawahnya. Disinggung sebatas untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif sekaligus mengetahui hierarki penjenjangannya.
Di antara semua bentuk lembaga pendidikan tinggi yang ada, maka pendidikan tinggi Islam telah dan dapat mengambil bentuk-bentuk tersebut sesuai dengan relevansi intrinsik dan ekstrinsiknya, baik berbentuk akademi, sekolah tinggi, institut hingga bahkan universitas. Berbagai bentuk pendidikan tinggi yang ada tersebut menyelenggarakan berbagai program studi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan publik. Di antara bentuk-bentuk yang ada yang diambil disesuaikan dengan pembidangan berdasarkan rumpun program studinya yang sekaligus menjadi nama pendidikan tinggi yang bersangkutan misalnya: Sekolah Tinggi Agama Islam. Disebut demikian karena bidang-bidang keislaman yang menjadi ranah garapnya.
Program studi yang diselenggarakan pendidikan tinggi Islam, dalam semua bentuknya, memperlihatkan sebuah mozaik tersendiri. Beragam. Publik memiliki pilihan luas untuk program-program studi yang ingin dipilih dan didalami. Rata-rata program studi yang ditawarkan cukup populis mengingat animo masyarakat yang tidak sedikit. Sifat populis tersrebut dapat memberi ruang longgar sedemikian rupa sehingga dapat menjadi rujukan pengembangan pendidikan agama Islam secara umum, baik untuk jenjang pendidikan tinggi itu sendiri maupun jenjang pendidikan-pendidikan di bawahnya. Lebih dari itu, pada dasarnya masyarakat sangat membutuhkan mozaik pendidikan semacam.
Pada dasarnya Islam tidak mengenal dikhotomi pendidikan yang dikotak-kotak ke dalam pendidikan umum vis a vis pendidikan agama. Semua ilmu – yang baik – adalah Islami. Semua ilmu berpeluang mengantarkan individu dan masyarakat menuju keluhuran budi dan keberhasilan hidup, di dunia maupun di akhirat. Sementara keluhuran budi individu, masyarakat dan bangsa adalah harga yang tidak bisa ditawar. Ia memiliki fungsi dan peran sangat strategis untuk ikut memberi arah ke depan yang baik bagi perjalanan masyarakat dan bangsa. Bagi perjalanan bersama semua pihak.
Sebagaimana diketahui pendidikan dan lingkungan pendidikan di Indonesia memang memperlihatkan adanya heterogenitas yang sungguh-sungguh. Lingkungan heterogen ini meliputi jenjang, jenis, bentuk maupun keragaman kualitas. Dalam lingkungan pendidikan yang seperti dimaksud inilah dunia pendidikan tinggi Islam tumbuh dan berkembang. Selalu ada kebutuhan intrinsik yang membuat pendidikan tinggi Islam dibutuhkan. Oleh karena itu dengan mempertimbangkan konstelasi persoalan yang ada menjadi tidak berlebihan apabila pendidikan tinggi Islam mendapatkan dirinya sebagai sebuah keniscayaan yang harus ada dan bisa memberikan sesuatu yang terbaik ke dalam semua jenjang, semua jenis maupun semua bentuk pendidikan. Yang tidak boleh tertinggal di dalamnya adalah pendidikan diselengarakan oleh perguruan tinggi.
Dunia pendidikan tinggi Islam dengan keanekaragaman program studinya memang populis, apalagi untuk konteks Indonesia yang mayoritas populasinya adalah muslim. Akan tetapi bila ditinjau dari sudut pandang semua jejang, jenis dan bentuk pendidikan yang ada yang dikenal umat manusia maka pendidikan tinggi Islam hanya merupakan bagian kecil dari yang ada. Jika menganut alur pemikiran pendidikan yang dikhotomis yang diyakini banyak pihak maka dunia pendidikan Islam memang tampak seperti segenggam pasir di antara segunungan pasir. Sebaliknya bagi pihak yang tidak bersetuju dengan adanya dikhotomi pendidikan maka semua bidang keilmuan yang ada adalah Islami. Semua bidang keilmuan yang ada diperintahkan kepada semua manusia – atau dalam hal ini umat muslim – untuk mempelajari dan mendalaminya.
Mematangkan Diri dalam Lingkungan Desa Buwana.
Dewasa ini umat manusia menghadapi persoalan yang sangat kompleks di hampir semua bidang kehidupan. Kompleksitas persoalan yang ada ditambah faktor-faktor demografi yang timpang sering memperlihatkan perkembangan yang juga tidak seimbang – dalam sejumlah perkara – telah membuat persoalan yang kompleks menjadi semakin kompleks. Faktor demografi yang tidak seimbang bisa berupa tingginya tingkat pertumbuhan penduduk tanpa diimbangi – paling tidak – peningkatan perlindungan ekonomi (untuk tidak semata menyebut pertumbuhan ekonomi) orang per orang. Secara kausalitas faktor demografi yang tidak seimbang dengan segala konsekuensinya akan melahirkan masalah-masalah baru – menggenapi masalah lama yang sudah ada sebelumnya. Ini masih belum ditambah dengan persoalan peningkatan jumlah populasi manusia tadi – terjadi secara deret geometrik – dengan tidak akan mungkin diimbangi oleh pertambahan luas permukaan bumi. Ini artinya pertambahan jumlah manusia yang lahir akan otomatis melahirkan persoalan kepadatan penduduk yang terus bertumpuk-tumpuk dimana konsekuensi logisnya adalah muncul problem multi dimensi – utamanya masalah sosial. Pertumbuhan jumlah penduduk juga akan melahirkan tekanan terhadap ekosistem dan lingkungan sebagai akibat dari luas permukaan bumi yang tetap. Nyata bahwa kemampuan bumi menyediakan kebutuhan pangan, sandang dan papan akan semakin berkurang. Itu di satu sisi. Di sisi lain, pada saat yang sama permintaan (demand)/tuntutan terhadap kebutuhan-kebutuhan tersebut meningkat tajam.
Bukan masalah ekonomi, demografi, ekosistem, lingkungan, tetapnya luasan permukaan bumi, dan seterusnya yang menjadi persoalan di sini melainkan pada apa yang diakibatkan darinya ketika semua itu berjalan dan berproses secara tidak seimbang. Yang lebih memprihatinkan a dalah bahwa kenyataan yang menyedihkan tersebut terjadi di hampir semua tempat di permukaan bumi. Bencana alam datang silih berganti: badai, tanah longsor, banjir, gunung meletus, anomali musim dan seterusnya. Semua ini lengkap dengan akibatnya masing-masing. Dan semua ini akibat ulah tangan-tangan manusia (yang tidak bertanggung-jawab) – disadari atau tidak. Bersamaan dengan itu perkelahian masal/tawuran antar komunitas, pembakaran, perampokan, penjambretan, pencurian, pemerkosaan, perselingkuhan, pembunuhan yang tidak jarang dengan disertai mutilasi, korupsi, penyalahgunaan jabatan dan wewenang, aneka rupa gesekan horizontal maupun vertikal dan seterusnya juga merupakan potret sejarah perjalanan kemanusiaan yang memilukan sekaligus memalukan. Semua ini terjadi di mana-mana.
Di sisi yang berbeda, kompleksitas aneka persoalan di atas ‘berjalan’ (bahkan semakin ‘berlari’) dalam pacuan dimensi ruang dan waktu. Pacuan ini meningkatkan kompleksitas yang ada sehingga semakin tidak lebih mudah dirumuskan menurut rumusan-rumusan sebelumnya. Dalam kondisi sangat majemuk tadi maka eskalasi perubahan tata kehidupan masyarakat terjadi sangat cepat dan seperti terburu-buru. Banyak komunitas masyarakat tidak siap menerima perubahan. Yang memprihatinkan adalah bahwa di antara perubahan-perubahan cepat yang terjadi adalah perubahan-perubahan yang tidak baik/destruktif. Sebentuk perubahan yang bergerak menuju arah kemerosotan nilai-nilai fundamental kemanusiaan. Telah terjadi secara kasat mata proses-proses dehumanisasi serius atas manusia.
Semua persoalan ‘gelap’ dan memprihatinkan yang dinukil secara singkat di atas tidak ada yang kehadirannya diharapkan manusia. Walaupun demikian semua problematika yang mengakrabi kehidupan manusia tersebut dapat ditarik satu benang merah yang menghubungkan semuanya. Bahwa semua itu merupakan persoalan kemerosotan keluhuran budi. Kemerosotan akhlak. Akhlak manusia terhadap manusia lain dan atau akhlak manusia terhadap lingkungan sekeliling. Bila simplifikasi persoalan di atas berujung ke persoalan akhlak manusia – atau dengan bahasa yang lebih umum: persoalan sikap dan perilaku manusia – maka menjadi lebih mudah untuk dikenali bahwa di titik persoalan itulah dunia pendidikan Islam menjadi tempat pergantungan untuk solusi kuratif sekaligus preventif terhadap aneka persoalan mendasar di atas. Sebentuk solusi yang dimulai pada tingkat batin.
Kemerosotan moral – sebagai inti dari proses dehumanisasi – yang terjadi di berbagai belahan bumi dan melanda umat manusia – utamanya terhadap para generasi produktif – telah menempatkan pendidikan Islam sebagai entitas nilai sekaligus entitas pendidikan menjadi sesuatu yang sangat penting. Dibutuhkan dan perlu. Penting, perlu dan dibutuhkan karena dapat menjadi upaya dan program berkelanjutan untuk membalik proses dehumanisasi menuju proses sebaliknya, yaitu: rehumanisasi. Kembali memanusiakan manusia. Memanusiakan dalam pengertian yang sesungguhnya.
Ledakan dunia informasi secara massif telah menggiring umat manusia menuju sisi perkembangan positif sekaligus negatif. Dalam sejumlah perkara, individu-individu manusia didesain sedemikian rupa sehingga individu-individu dilihat dalam perspektif terlampau ditonjolkan sehingga mengalahkan yang lain. Individu-individu menjadi mengatasi segala-galanya termasuk kelompok. Individuluasme menjadi tumbuh sebagai fenomena. Ego dan egoisme menguat. Hidup bukan lagi bagaimana mendesain kehidupan bersama sebagai kebutuhan dan kepentingan bersama semua pihak pihak. Akhirnya hidup menjadi semakin dipahami bagaimana individu-individu survive dengan sebanyak mungkin penguatan tanpa mempertimbangkan interest terhadap keharmonisan dankeselarasan bersama. Di sinilah dehumanisasi menemukan pijakan awalnya untuk berekspresi dengan segala konsekuensi logisnya. Ini artinya ‘undangan’ terhadap nilai-nilai agama untuk melahirkan solusi-solusi relevan terhadap persoalan terkait.
Pendidikan Islam secara umum, atau Pendidikan agama Islam secara lebih spesifik – yang kontribusinya bagi pembentukan keluhuran budi/akhlak karimah masyarakat dan bangsa tidak lagi diragukan – merupakan sesuatu entitas nilai tersendiri. Untuk bisa menjalankan fungsi dan perannya dengan baik maka memberinya dasar-dasar nyata untuk operasioanal merupakan keniscayaann yang tidak bisa ditawar-tawar. Pada galibnya memang setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan harus mempunyai landasan tempat berpijak yang baik dan kuat. Adapun landasan berpijak pendidikan agama Islam secara garis besar ada tiga hal yaitu:
- Al-Qur`an.
- As-Sunnah.
- Perundangan yang berlaku di Indonesia [penjabaran dari tiga landasan penting ini tentu tidak mungkin dilakukan di sini][2].
Di atas landasan kokoh inilah pendidikan agama Islam mendapatkan bentuk dan arah perjalanannya.
Di tengah-tengah problem hidup yang diwarnai destruksi kemanusiaan di satu sisi dan keharusan membentuk manusia menuju kepemilikan integritas keluhuran budi/akhlak karimah di sisi lain adalah pekerjaan yang sungguh tidak mudah, sekaligus tidak ringan. Oleh karena itu Al-Qur`an, As-Sunnah dan Perundangan yang berlaku di Indonesia jelas merupakan kebutuhan yang bersifat konsekuensi logis. Sinergi antara ketiganya akan memperkuat proses-proses pembelajaran pendidikan agama Islam atau pesan-pesan transendet..
Menyadari pentingnya kehadiran dunia pendidikan agama Islam secara umum dan dunia pendidikan tinggi Islam secara khusus dalam konstelasi persoalan tersebut maka pendidikan dalam lingkup dimaksud harus disangga oleh semua pihak. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama semua pihak tanpa tersedia ruang untuk pengecualian. Masyarakat – di samping pemerintah – juga memiliki tanggung jawab untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan yang dimulai dengan pencerdasan dan pencerahan individu-individu. Pendidikan bukan hanya sekedar transfer nilai, ilmu dan pengetahuan melainkan proses transfer tersebut dilakukan secara lebih sistematis dan terstruktur. Bukan juga sekedar transfer melainkan juga dididikkan. Di sini peran serta masyarakat nyata dibutuhkan. Lebih dari itu peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan. Pada dasarnya masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan[3].
Mencermati problematika yang ada maka kehadiran program-program studi yang dimiliki dunia pendidikan Islam yang diformat dalam lembaga-lembaga pendidikan tinggi dalam semua bentuknya merupakan sesuatu yang sangat relevan. Semua program studi yang dielaborasi oleh lembaga-lembaga pendidikan tinggi juga sekaligus menjadi relevansi tersendiri berikutnya. Relevansi ini terlihat lebih jelas karena apa-apa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tinggi tentang program-program studi terkait akan secara otomatis dibawa ke jenjang-jenjang pendidikan di bawahnya. Nyata bahwa para insan pendidik – sebagai misal – di jenjang-jenjang pendidikan di bawahnya dihasilkan oleh lembaga pendidikan jenjang atasnya – perguruan tinggi. Ini tidak untuk sebaliknya. Di samping itu penelitian-penelitian tentang agama atau hal-hal yang terkait dengannya lebih banyak dihasilkan oleh dunia pendidikan tinggi Islam dari pada yang sebaliknya. Untuk seterusnya hasil-hasil penelitian yang sesuai bisa dimanfaatkan untuk mengatasi problematika terkait.
Menakar Peluang dan Tantangan.
Di satu sisi, keberadaan lembaga pendidikan sebagai salah satu pranata sosial budaya dewasa ini dihadapkan pada berbagai tantangan yang kompleks dan tidak selalu mudah menghadapinya melainkan harus dengan usaha ekstra. Di sisi berbeda, masing-masing institusi pendidikan dituntut untuk tetap bertahan dalam situasi yang tidak selalu mudah. Dengan ungkapan berbeda, lembaga pendidikan dihadapan pada derasnya arus perubahan akibat revolusi informasi yang terjadi secara massif yang membanjiri seluruh permukaan bumi. Akibat pusaran arus informasi yang seperti itu memunculkan kultur umat manusia yang bersifat mengglobal – semakin lama semakin mengglobal. Terjadilah apa yang disebut globalisasi. Globalisasi di hampir semua bidang kehidupan.
Secara umum, gobalisasi juga memunculkan tuntutan-tumtutan tersendiri bagi dunia pendidikan. Memanfaatkan dunia informasi untuk pengayaan proses-proses pembelajaran dan perbaikan mutu pendidikan sering dijadikan sebagai sebuah pilihan. Kata ‘mutu pendidikan’ inipun masih dapat dipahami sebagai kata dengan tanda kutip – menjadi multi tafsir. Memanfaatkan semua informasi yang tersedia juga bukan berarti tanpa masalah karena tidak jarang berbenturan dengan kultur dan tradisi semula yang sudah berjalan dengan baik. Di luar perbenturan dengan hal-hal yang bersifat status-quo, globalisasi sering menuntut perlunya relevansi program-program pendidikan – terutama dunia pendidikan tinggi – dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja terhadap mutu lulusan (out-put). Di satu sisi terdapat pandangan bahwa dunia pendidikan harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan dunia kerja. Di sini dunia kerja dalam konteks blue collar worker dan atau white collar worker. Sebaliknya juga tidak sedikit yang menyikapi bahwa pendidikan tidak harus semata identik dengan dunia pekerja dalam konteks tersebut selepas lulus kuliah. Peningkatan mutu sumber daya insani tidak harus dilokalisir sebatas dunia kerja dalam konteks yang sama. Seseorang yang lulus pendidikan agama dari perguruan tinggi – misalnya – tidak harus bekerja dengan setting pendidikan tingginya. Dia boleh berwiraswasta sementara ilmu pendidikan agamanya bisa dimanfaatkan untuk membangun karakter diri dan keluarganya. Yang menjadi persoalan, publik seperti menuntut dan diajari untuk menuntut para lulusan pendidikan tinggi agar bekerja di sektor-sektor dunia kerja sesuai setting pendidikan tingginya. Kalau tidak dianggap sia-sia pendidikan tinggi yang sudah diraihnya. Ini dilemma tersendiri dari dua sudut pandang yang berbeda. Globalisasi – dengan semua sisi baik dan buruknya – juga telah nyata menyodorkan hiruk pikuk problematika di bidang pendidikan yang tidak selalu mudah untuk dijawab.
Perubahan, yang merupakan perbedaan yang terjadi dalam urutan dimensi waktu, tentu saja tidak mudah diterjemahkan secara singkat dan eksplisit. Perubahan dalam pengertian hakiki seperti dimaksud sesungguhnya mengandung konotasi majemuk seperti yang telah tergambar dalam lintas ruang dan lintas waktu. Dengan demikian mosaik kehidupan masyarakat baik berupa hiruk pikuk di wilayah keamanan, ideologi, politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya juga harus berhadapan dengan serbuan perubahan tajam yang tidak mengenal tebang pilih. Semua dihadapkan pada kondisi yang berubah dan terus berubah. Dengan derasnya perubahan tersebut, dunia pendidikan juga mengalami tuntutan perubahan yang luar biasa kerasnya. Dunia pendidikan bersedia memberikan sikap kooperatif-kompromistis atau tidak: selalu saja menghadapi pilihan yang tidak jarang berujung pada bertahan, mati suri atau bahkan mati itu sendiri. Kalau ingin dirunut akar pangkalnya, sebagai penegasan semua ini tentu saja tidak terlepas dari menyeruaknya revolusi informasi melanda dunia seperti air bah. Revolusi ini pada giliran berikutnya menyodorkan globalisasi yang juga melanda dunia yang tidak ubahnya seperti air bah. Revolusi informasi dan ledakan globalisasi memang ada nilai positifnya tetapi juga bukan berarti sepi dari anasir negatifnya. Untuk sejulah komunitas nilai negatifnya bahkan melebihi nilai positifnya. Siap atau tidak, globalisasi yang disemangati oleh revolusi informasi akan terus mengarus dan mengada untuk kemudian membanjiri apapun dan siapapun.
Akibat adanya banjir informasi yang sekaligus diikuti kultur baru yang tidak selalu cocok bagi semua komunitas yang disebut globalisasi sebagaimana digambarkan di atas, maka sodoran pilihan-pilihan yang tidak selalu mudah bagi setiap apa dan siapa ini ototmatis menyeruakkan aneka problem yang dilematis. Gesekan internal dan eksternal bagi setiap diri dan kelompok kini telah menjadi semakin tajam karena tidak lagi terbatas pada rivalitas antar bidang di luar dunia usaha saja, tetapi telah merambah ke dunia pendidikan. Mulai dari Play Group, SD/MI, SLTP/MTs, SLTA/MA dan Perguruan Tinggi dalam semua bentuknya, bahkan ke institusi-institusi pendidikan lainnya menuai imbasnya. Memang terasa agak jengah manakala berbicara adanya gesekan-gesekan di dunia pendidikan walaupun sejatinya hal tersebut ada dan terjadi. Tentu saja dimensi gesekannya berbeda dengan yang terjadi di dunia di luar dunia pendidikan. Banjir informasi dan globalisasi serba hal telah menuntut – dengan pilihan suka atau tidak – apa saja dan siapa saja untuk menyesuaikan diri. Dengan kata lain berubah.
Berkaitan dengan meningkatnya tuntutan perubahan terhadap para penyelenggara bidang pendidikan ini, terjadi pula perubahan perilaku pemakai ‘jasa pendidikan’, dalam hal ini adalah masyarakat (orang tua dan siswa/mahasiswa) maupun para stake-holder (pengguna out-put pendidikan). Dengan semakin banyaknya pilihan lembaga pendidikan maka orang tua, siswa/mahasiswa maupun para stake-holder menjadi semakin banyak tuntutan, baik mengenai kualitas lulusan dan biaya pendidikan maupun fasilitasnya. Bargaining power atau posisi tawar-menawar masyarakat meningkat. Meningkat sedemikian rupa sehingga dunia pendidikan terpaksa harus melakukan sesuatu yang bersifat memenuhi dan melayaninya. Bila tidak bersedia merespons perubahan perilaku masyarakat tidak akan lagi diminati untuk akhirnya ditinggalkan. Jika sudah demikian maka meredupnya nyala lilin menjadi hanya persoalan waktu. Untuk tidak terlalu terkejut, sejatinya perubahan perilaku orang tua, siswa/mahasiswa maupun stake-holder adalah sebentuk perubahan yang ‘diciptakan’ oleh revolusi informasi dan globalisasi – secara langsung atau tidak. Sayangnya yang bergulir di permukaan publik ihwal tuntutan perubahan oleh dua bersekutu informasi dan globalisasi terhadap dunia pendidikan semakin nyata bentuk orientasinya terlalu pasar-oriented. Padahal pendidikan tidak harus selalu dimaknai sebagai ‘menyenangkan’ dunia pasar.
Terlepas dari manapun sisinya, mengambil sisi-sisi positif – untuk apa saja yang disebut peningkatan dan perbaikan – dari revolusi informasi dan globalisasi merupakan kebaikan itu sendiri. Oleh karena itu dalam situasi kekinian yang penuh dengan dinamika dan bahkan gejolak maka pengelolaan pendidikan harus dapat menciptakan organisasi pendidikan yang efektif. Semua satuan pendidikan yang ada – tidak terkecuali dunia pendidikan tinggi Islam – dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal, maksimal dan terutama memuaskan kepada masyarakat pada umumnya, subyek pendidikan dan stake-holder khususnya. Unsur kepuasan – atau dengan ungkapan yang berbeda tidak menyisakan rasa kecewa betapapun kadarnya – sangatlah penting untuk dijadikan perhatian. Sedikit saja ada pihak-pihak yang kecewa maka pihak-pihak yang tidak puas atau kecewa tadi akan dengan senang hati menjadi iklan penggembos secara gratis.
Dengan kata lain dunia pendidikan kini dituntut untuk mengembangkan pengelolaan strategi dan menyelenggarakan langkah-langkah operasional yang baik dan bersedia untuk bersifat melayani dengan makna yang barangkali makna sesungguhnya. Hal-hal semacam sangat penting dan perlu untuk dilakukan sebagai langkah antisipatif terhadap kecenderungan-kecenderungan baru yang ada guna mencapai dan mempertahankan eksistensi lembaga pendidikan yang sudah lama dirintis dan dikelola. Tidak tersedia pilihan lain bagi satuan-satuan pendidikan yang ada melainkan agar melakukan sejumlah perubahan yang perlu – dan barangkali mendesak – sebagai respons atas persoalan-persoalan ‘air bah’ informasi dan globalisasi yang tengah terjadi di depan mata. Ini berlaku untuk semua jenjang, jenis dan bentuk pendidikan. Semua pihak mengalami situasi seperti ini tanpa bisa mencegahnya sekaligus tanpa bisa mengelak. Semua ini adalah tantangan yang tidak bisa tidak harus dijawab dengan langkah-langkah yang kongkrit, realistis dengan aras kebijakan yang baik dan bijaksana. Di kanan kiri, depan belakang, sudah melakukan tindakan berlomba-lomba menuju kebaikan dan bertahan dari gesekan-gesekan. Tidak ada satuan pendidikan yang mampu berlomba-lomba dan bertahan dari gesekan-gesekan hanya dengan dirinya sendiri. Dunia pendidikan juga harus mempertimbangkan pemberian solusi dalam renstra (rencana dan strategi) pengembangan pendidikannya terkait semakin bergesernya perilaku individu-individu manusia ke arah yang semakin cenderung egois dan individualis. Individu-individu manusia sekarang semakin cenderung pintar berbicara dan menuntut hak-hak dari pada pintar berbicara dan memenuhi kewajiban-kewajiban. Ini anomali perilaku karena sejatinya hak menjadi ada bila kewajiban sudah dipenuhi. Ini juga sekaligus merupakan tantangan bagi dunia pendidikan.
Di sisi lain, sebagaimana disebut di atas dunia sedang disibukkan dengan persoalan-persoalan yang tidak menyenangkan dan merusak. Persoalan-persoalan yang memerosotkan nilai-nilai kemanusiaan. Manusia yang sudah tidak lagi menjadi manusia itu jauh lebih berbahaya dibanding dengan tidak manusia yang sudah tidak lagi menjadi tidak manusia. Skala destruksinya menjadi sangat mungkin bagi manusia untuk tidak lagi mampu membayangkannya. Dalam praksis hidup nyata sehari-hari sering yang demikian yang terjadi. Kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan memang nyata terjadi dan ini memang produk langsung atau tidak langsung dari imbas banjir informasi dan globalisasi.
Menjadi logis manakala selalu saja ada kebutuhan bagi semua pihak yang peduli pada pembalikan dari kemerosotan tersebut untuk merekonstruksi – bila tidak untuk meminimalisir – semua persoalan yang memprihatinkan tadi. Bila akar persoalannya lebih terletak pada aspek moralitas – kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan memang berada dalam ranah ini – maka perbaikan juga harus ditempuh melalui ranah aspek terkait. Sesungguhnya aspek moralitas saja tidaklah cukup melainkan harus dibarengi dengan integritas moralnya dalam kehidupan nyata sehari-hari. Banyak orang berpendidikan moral cukup, atau lebih dari cukup, tetapi berperangai buruk. Hal semacam terjadi karena internalisasi moral tersebut belum dijadikan pilihan integritas hidup. Ini artinya kebutuhan dan keperluan terhadap pendidikan agama Islam menjadi sesuatu yang urgens. Untuk satuan-satuan pendidikan yang menawarkan program-program pendidikan agama dapat melihat persoalan-persoalan yang membelit umat manusia seperti uraian di atas sebagai sesuatu wilayah garap tersendiri. Dengan memimjam bahasa lain maka hal tersebut merupakan peluang garap yang menunggu. Melihat sifatnya, peluang terserbut pada dasarnya memiliki cakupan sangat luas. Cakupan bidang garap luas berarti membutuhkan perencanaan matang. Ini peluang sekaligus tantangan.
Wilayah garap sebagaimana dimaksud tidak semata-mata harus direspons oleh satuan-satuan pendidikan – terutama yang berbasis pendidikan agama – dengan langkah-langkah operasional yang bersifat kuratif semata melainkan dapat juga sekaligus – dan ini yang lebih penting – memberi warna sejak awal kepada generasi terdidik umat manusia. Maksudnya selain bersifat kuratif juga sekaligus preventif-konstruktif. Ini akan menjadi warna-warna yang lebih memanusiakan manusia. Mosaik warna pembentuk pribadi insan kamil.
Pendidikan agama – atau dalam hal ini pendidikan agama Islam – adalah sebentuk keagenan entitas nilai tersendiri. Ia penting untuk ada dan karenanya perlu untuk ada. Ada seterusnya. Pendidikan agama Islam bisa dan harus bisa menjadi agen perubahan terbaik untuk masyarakatnya. Agen perubahan dari kegelapan min adz-dzulumat menuju kebenderangan ila an-nuur. Ini tugas sekaligus amanah berat bagi pihak-pihak penyelenggara pendidikan agama Islam. Berat tetapi mulia. Pendidikan tinggi Islam jelas harus berada satu langkah di depan dari yang lainnya karena watak kependidikantinggiannya yang memang menuntut demikian.
Satu hal yang penting untuk selalu diingat, satuan-satuan pendidikan dalam semua jenjang, jenis dan bentuknya telah menempatkan diri dalam situasi dan posisi saling berlomba-lomba menuju kebaikan (untuk tidak menyebut adanya gesekan-gesekan). Sebuah kondisi yang memiliki sejumlah keuntungan positif agar selalu meningkatkan diri. Juga positif bagi pihak siswa, mahasiswa, orang tua maupun stake-holder. Dengan demikian tersedia pilihan lebih banyak. Tetapi tidak semua pihak siap. Sementara ketidaksiapan sering menjadi kabar buruk bagi yang memang tidak siap.
Harus ada sejumlah persiapan untuk menghadapi kondisi di atas agar tetap bisa bertahan untuk berkontribusi dan tidak ditinggalkan para peminat atau pencintanya (sekedar meminjam ‘bahasa’ supply dan demand). Jika dianalogkan dalam dunia usaha, tantangan terberat bagi seorang usahawan adalah bagaimana ia dapat membawa usaha yang dirintisnya itu menjadi sebuah usaha besar dan bisa memimpin pasar. Ini bukan pekerjaan mudah sebab ketika seseorang memutuskan terjun ke dunia usaha, yang bersangkutan harus siap menghadapi kerasnya rivalitas usaha dan tantangan yang dihadirkan para kompetitor. Bagaimanapun, usaha yang digeluti harus diperjuangkan untuk turut diminati oleh pihak lain. Begitu juga halnya dalam bidang pendidikan, harus siap menghadapi kerasnya lingkungan eksternal sehingga pendidikan yang dikelola bisa kompetitif dan bertahan di kancah globalisasi dan diminati.
Dalam dunia pendidikan, kehadiran lingkungan internal yang menyajikan problem dan lingkungan eksternal yang keras dan menggesek adalah hal wajar bila memang dikaca dari perspektif revolusi informasi dan globalisasi. Munculnya kondisi semacam juga dapat menjadi cara yang menantang untuk mendapatkan subyek (untuk tidak menyebut obyek) didik (siswa/mahasiswa) yang banyak dan terpilih. Bisa, asal memiliki keunggulan kompetitif, keunggulan komparatif dan program-program yang diminati. Oleh karena itu, biasanya hanya pimpinan institusi pendidikan bermental gigih dan kuatlah yang mampu menghadapi kerasnya lingkungan di dalam dan di luar yang tidak memberi pilihan longgar. Atau menghadapi krisis yang terjadi dalam perjalanan organisasi pendidikan.
Merebut kepercayaan masyarakat juga bukan perkara sesingkat membalik telapak tangan. Tidak mudahnya memperoleh kepercayaan masyarakat dan menjaga amanat kepercayaan tersebut, sangat erat kaitannya dengan kecekatan seseorang yang terjun dalam bidang pendidikan mengenali minat dan selera masyarakat serta segmentasi kelompok-kelompok masyarakat sesuai dengan program pendidikan yang ditawarkan. Agar subyek pendidikan loyal, maka harus mempunyai strategi jitu untuk mempertahankan mereka agar tetap bertahan dan setia. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menghadapi persoalan tersebut adalah dengan melakukan analisa situasi atau popular disebut analisa SWOT:
- Bersifat looking in-ward: a – Memiliki analisis tentang kekuatan/kelebihan (strength) yang dimiliki oleh pihak sendiri. Seseorang atau sekelompok orang menjadi tahu kekuatan/kelebihan atau hal-hal yang bisa dinisbahkan tentang kekuatan/kelebihan pihak sendiri lalu memanfaatkannya dengan baik; b – Memiliki analisis tentang kekurangan/kelemahan (weakness) yang ada pada pihak sendiri. Seseorang atau sekelompok orang menjadi tahu kekurangan/kelemahan atau hal-hal yang bisa dinisbahkan tentang kekurangan/kelemahan pihak sendiri. Hal ini berguna untuk mencari cara menutupinya atau mencari solusi atas kekurangan/kelemahan yang ada;
- Sebaliknya bersifat looking out-ward: a – Memiliki analisis tentang kekuatan/kelebihan (strength) yang dimiliki oleh pihak lain. Seseorang atau sekelompok orang menjadi bisa belajar dari kekuatan/kelebihan atau hal-hal yang bisa dinisbahkan tentang kekuatan/kelebihan yang dimiliki pihak lain. Ini menjadi tantangan yang diberikan pihak eksternal yang mau tidak mau harus dijawab secara elegan; b – Memiliki analisis tentang kekurangan/kelemahan (weakness) yang ada pada pihak lain. Hal ini berguna untuk mengisi kekurangan/kelemahan atau hal-hal yang bisa dinisbahkan tentang kekurangan/kelemahan pihak dimaksud. Ini dapat menjadi cara untuk menawarkan program-program yang dimiliki untuk menarik minat masyarakat. Berarti peluang garapan.
Bila satuan-satuan pendidikan, terutama pendidikan tinggi Islam, yang ada memiliki analisa kuat terhadap setidaknya keempat hal di atas, maka pada saat itu juga akan memiliki suatu gambaran yang definitif tentang peta rencana dan strategi komprehensif yang pada giliran berikutnya dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan dan kemanfaatan pihak-pihak yang membutuhkan. Memiliki kekuatan/kelebihan internal berarti pihak sendiri siap. Mendapati apa yang berada dalam konteks kekurangan/kelemahan internal dimaksud tetapi tanpa solusi sama dengan ketidaksiapan pihak sendiri. Menyadari kekuatan/kelebihan eksternal maka harus disikapi sebagai tantangan. Mengetahui kekurangan/kelemahan eksternal maka tidak lain dan tidak bukan berarti pemberitahuan tentang peluang. Luberan banjir informasi memberikan kemampuan kepada siapa saja untuk mengetahui hal-hal di atas dengan cepat.
Akhirnya untuk mendapatkan peta renstra (rencana dan strategi) ke depan yang lebih komprehensif maka memanfaatkan analisa situasi dengan metode SWOT akan memberikan banyak kemaslahatan dan keuntungan – asal diniatkan dengan baik dan tidak untuk menjatuhkan pihak manapun. Analisa dengan metode tersebut dapat dilakukan dengan memadukan unsur-unsur strength, weakness, opportunituy dan threatment ke dalam satu‘bejana’renstra. Dengan cara memiliki kemampuan mengolah semua unsur yang diperoleh ditambah dengan pengeksplorasian sumber daya insani yang dimiliki maka akan didapatkan sajian rencana dan strategi unggul. Sebuah cara untuk menjawab berbagai persoalan. Ini bisa dilakukan bila akses terbuka atas kelimpahan dunia informasi dimanfaatkan dengan positif dan baik. Bila tidak maka cerita sebaliknya yang akan terjadi.
Kesimpulan dan Harapan.
Jaman sudah berubah. Kondisi sudah tidak lagi seperti sebelumnya. Guyuran revolusi informasi dan globalisasi sudah mengarus sebagai main-stream. Tidak lagi bisa dihindari. Di hadapan setiap komunitas, anasir konstruksi dan destruksi hadir bersama-sama pada saat yang sama. Antara yang haq dan yang batil hadir bersama. Sering saling bercampur dan sulit ditarik garis pembeda. Dimensi-dimensi klasik sudah semakin diposisikan untuk semakin ditinggalkan. Entitas jaman berubah menjadi sebentuk kekuatan yang bersifat memaksa. Manusia menjadi dihadapkan pada ketiadaan pilihan lain melainkan satu pilihan: bersedia kompromi pada perubahan atau ditinggalkan – bila tidak digilas. Tidak selalu mudah bagi setiap pihak untuk memilihnya.
Paradigma metodologi dalam dunia pendidikan juga menghadapi tuntutan perubahan. Paradigma lama sering sudah tidak lagi mencukupi walaupun ada bagian-bagian yang bisa dimanfaatkan. Mempertahankan paradigma klasik sering hanya berujung pada ditinggalkannya satuan-satuan pendidikan yang tidak bersedia berubah oleh para peminat atau stake holder. Ini riil. Dan ini adalah simpulan induktif yang tidak terlampau sulit untuk mencari contoh-contohnya.
Bila pergeseran paradigma yang sesuai merupakan tuntutan tersendiri, maka kesediaan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah merupakan sebuah harapan. Tetapi ini juga sering terasa naïf bahwa bila semua yang disebut status-quo dipahami atau ditafsirkan sebagai yang selalu tidak up to date, karena selalu saja ada kebaikan-kebaikan bagi sejumlah apa yang disebut status-quo. Persoalannya adalah karena semakin sedikit pihak yang bersedia melihat semua ini dalam perspektif yang adil dan berimbang. Di segi yang berbeda, pergeseran paradigma yang bisa dipertimbangkan di sini bisa berupa metodologi, pendekatan, pemanfaatan manajemen yang baik ditambah penguatan analisa relevan atas multi persoalan yang menyembul dan hal-hal semacam.
Penting untuk ditandaskan bahwa perubahan yang dimaksud di sini tidak dimaknai untuk sebuah perubahan dalam pengertian perubahan dan atau pengubahan jati diri. Jati diri adalah jati diri. Jati diri adalah substansial. Caranya dia hidup adalah eksistensial. Sebagai sebuah entitas dia boleh dan harus tetap. Tetapi sebagai sebuah cara hidup di tengah-tengah lingkungan yang berubah deras dan cenderung tidak menentu dia bisa menyesuaikan diri. Walaupun mungkin menyesuaikan diri dengan cara dan situasi pahit. Atau setidaknya bila semuanya ditakar dengan cara positif untuk kemudian dipijaki dan ditindaki dengan positif maka luberan informasi dan terpaan globalisasi dimungkinkan bisa memberikan harapan yang bersifat maslahat. Sebaliknya bila tidak ada kemauan baik di aras pilihan sikap dan tindakan yang satu ini, maka revolusi informasi dan globalisasi dimaksud akan cenderung berbuah mudarat dan mafsadat.
Bila semua sadar atas persoalan-persoalan di atas dalam jalinan konstelasi menyeluruh, inter-korelasi komprehensif, maka yang tersisa tinggal satu hal. Satu hal yang tidak selalu mudah untuk dijawab oleh setiap pihak. Ia adalah kemauan. Kemauan semua pihak untuk berperspektif secara positif dengan seluruh konsekuensi logis ikutannya. Bukan kemauan dengan segenap konotasinya termasuk yang negatif-negatif. Apalagi tanpa bersedia membuka jalur yang maslahat.
Penulis adalah
Pemerhati masalah-masalah Human Interest
dan Guru Bahasa Arab
MAN Bojonegoro V
Bibliografi :
http://starawaji.wordpress.com/2009/05/02/dasar-dasar-pendidikan-agama-islam.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[1] Lihat UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1.
[2] Lebih jauh dapat ditelusuri dalam http://starawaji.wordpress.com/2009/05/02/tentang Dasar Dasar Pendidikan Agama Islam.
[3] Termaktub dengan jelas dalam UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 54.