Pluralitas dalam masyarakat mempunyai tanggapan yang berbeda dari pandangan masyarakat secara umum, ada yang mengatakan bahwa aspek pluralisme merupakan sumber konflik sosial ditengah masyarakat, sebagaimana disampaikan Abd. Rahman Assegaf mengutip pernyataan Tobroni dan Samsul Arifin sebagai berikut:
“Pluraliseme sering dipahami sebagai salah satu faktor pemicu konflik sosial” Abd. Rahman Assegaf menambahkan pendapat dari H.M Sanusi, “Padahal umumnya konflik atau kerusuhan yang terjadi ditengah masyarakat disebabkan faktor dominan ketimpangan sosial,” ketimbang agama atau etnis. Assegaf mengutip lagi pendapat Baharuddin Umat beragama sendiri tidak rusuh dengan sesama mereka, hanya saja umat beragama dijadikan alat untuk mempercepat kerusuhan.
Pentingnya pemahaman dan kesadaran akan nilai-nilai sosial yang merupakan pondasi bermasyarakat. Pendidikan Islam harus mampu menciptakan dan mengintegrasikan komponen-komponen nilai fundamental Agama Islam, karena Islam sendiri merupakan Agama yang sangat toleran dalam hal kemasyarakatan, ini terbukti dari pesan-pesan sosial lewat Al-Qur’an maunpun Hadits Nabi, jadi pendidikan Islam disitu sangat dituntut untuk lebih menjiwai konsep Islam secara penuh, misalkan dalam Islam sangat menjunjung nilai toleransi atau tasamuh, toleransi dalam arti membiarkan sesuatu untuk dapat saling mengizinkan, saling memudahkan. Toleransi dalam dalam kehidupan bersosial sangatlah penting, karena makna toleransi tersebut dapat juga diartikan bertenggang rasa, bersifat atau bersikap tidak mengganggu (menentang atau mengisruhi), jadi penalaran toleransi adalah kerelaan hati karena kemuliaan dan kedermawanan, kelapangan dada karena kebersihan dan ketakwaan, kelemah–lembutan karena kemudahan.
Aplikasi atas nilai-nilai sosial keagamaan yang harus ditanamkan dalam setiap pribadi muslim membutuhkan keseriusan dalam hal ini melalui sektor kependidikan, konsep tentang toleransi beragama di atas tentunya akan terkait juga dengan toleransi social secara umum. Sebagaimana pada penalaran toleransi beragama, bahwa untuk urusan akidah tidak ada toleran (dimaksud disini dalam pengertian mencampuradukan peribadatan), namun beda untuk toleransi dalam bermasyarakat. Sedangkan toleransi sosial dalam diskursus ini bisa juga dikatakan sebagai toleransi kemasyarakatan.
Maka secara prinsipil pembelajaran dan pemahaman atas prinsip-prinsip sosial keagamaan dalam kehidupan sosial harus dibangun melalui sikap yang menyadarkan dan membimbing, dan melalui pendekatan yang dimanis,tidak dengan unsur doktrinal yang rigid, sebagaimana agama yang memberi ruang kebebasan dalam memeluk agama dan keyakinan masing-asing, atau dalam bahasa Al-Qur’an “lakum dinukum waliyaddin”, sedangkan dalam kehidupan sosial, aplikasi nilai-nilai dan etik sosial keagamaan oleh seorang muslim adalah suatu keniscayaan yang harus dilaksanakan dengan baik, karena memang dianjurkan oleh Allah SWT.
Pendidikan Islam maupun secara umum pendidikan keagamaan dalam masalah sosial keagamaan mempunyai peranan yang sangat besar, karena konflik atas nama agama sangat mudah tersulut jika tidak dilandasi nilai-nilai pendidikan yang didasarkan atas doktrin agama yang inklusif. Sehingga disini pentingya upaya memahami dan mengamalkan nilai-nilai toleransi dalam sosial keagamaan menjadi tuntutan yang harus diajarkan dan ditanamkan dalam satu konsep kependidikan dengan mengacu kepada nilai-nilai pendidikan Islam.
Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar yang membentuk watak dan perilaku secara sistematis, terencana dan terarah. Sedangkan sosial, secara ensiklopedis berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat atau secara abstraksis berarti masalah-masalah kemasyarakatan yang menyangkut pelbagai fenomena hidup dan kehidupan orang banyak, baik dilihat dari sisi mikro individual maupun makro kolektif. Dengan demikian, sosial keagamaan berarti masalah-masalah sosial yang mempunyai implikasi dengan ajaran Islam atau sekurang-kuraangnya mempunyai nilai Islamiah.
Pendidikan sosial keagamaan seperti pada lazimnya mempunyai tujuan, media dan metoda serta sistem evaluasi. Media dalam hal ini bisa berupa kurikulum atau bentuk-bentuk kegiatan nyata.
Yang terakhir inilah yang akan menjadi pembahasan dalam tulisan ini.
Ajaran Islam atau lebih khusus syari’at Islam, mempunyai titik singgung yang sangat kompleks dengan masalah-masalah sosial. Karena, syari’at Islam itu sendiri justru mengatur hubungan antara manusia (individual mau pun kelompok) dengan Allah SWT, antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam lingkungannya.Hubungan pertama terumuskan dalam bentuk ibadah (baik individual maupun sosial). Interaksi kedua terumuskan dalam bentuk mu’amalah dan mu’asyarah. Prinsip mu’amalah dalam Islam, tidak menitikberatkan pada penguasaan mutlak bagi kelompok atas pemilikan alam, sehingga menjadikan penguasaan individual, sebagaimana paham sosialisme (al-isytirakiyah al-mutlaqah).
Ia juga tidak menitikberatkan penguasaan bagi individu secara mutlak yang cenderung pada sikap monopoli tanpa memiliki konsen (kepedulian) terhadap yang lain, sebagaimana dalam kapitalisme (al-ra’sumaliah al-mutlaqah).Akan tetapi Islam menghargai hak penguasaan individual yang diimbangi dengan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing dan tanggung jawab kelompok. Pembuktian prinsip ini bisa dilihat pada pelbagai hal, antara lain berlakunya hukum waris, zakat, nafkah, larangan judi, larangan menimbun barang kebutuhan pokok sehari-hari dan lain-lain.
Sedangkan prinsip mu’asyarah dalam Islam dapat dilihat dalam pelbagai dimensi kepentingan dan struktur sosial. Dalam kepentingan kemaslahatan umum, kaum Muslimin dituntut oleh ajaran Islam sendiri agar bekerja sama dengan penuh tasamuh (toleransi) dengan pihak-pihak di luar Islam. Sedangkan antara kaum Muslimin sendiri, Islam telah mengatur hubungan interaksinya dalam kerangka ukhuwah Islamiah bagi segala bentuk sikap dan pelilaku pergaulan sehari-hari.
Dari sisi struktur sosial yang menyangkut setratifikasi sosial bisa dilihat, bagaimana ajaran Islam mengatur interaksinya, misalnya hubungan lingkar balik antara ulama, umara’ (pemerintah), aghniya’ (orang kaya) dan kelompok fuqara’ (orang fakir). Pendek kata, dalam Islam terdapat aturan terinci mengenai mu’asyarah antara pelbagai kelompok sosial dengan pelbagai status masing-masing.
Disiplin sosial secara sosiologis dapat diartikan sebagai suatu proses atau keadaan ketaatan umum atau dapat juga disebut sebagai “ketertiban umum”. Ketertiban itu sendiri merupakan aturan mu’asyarah antar masyarakat baik yang ditentukan oleh perundang-undangan mau pun yang tidak tertulis, hasil bentukan dari suatu kultur atau budaya. Dapat juga, ia merupakan nilai-nilai yang berlaku, baik yang berorientasi pada budaya mau pun agama. Bagi Islam, bentuk disiplin sosial adalah kesadaran menghayati dan melakukan hak dan kewajiban bagi para pemeluknya, baik dalam sikap, perilaku, perkataan perbuatan mau pun pemikiran. Dalam hal ini, di dalam Islam dikenal ada huquq Allah (hak-hak Allah) dan huquq al-Adami (hak-hak manusia). Sedangkan hak-hak manusia pada hakikatnya adalah kewajiban-kewajiban atas yang lain.
Bila hak dan kewajiban masing-masing bisa dipenuhi, maka tentu akan timbul sikap-sikap sebagai berikut: Solidaritas sosial (al-takaaful al-ijtima’i), toleransi (al-tasamuh), mutualitas/kerjasama (al-ta’awun), tengah-tengah (al-i’tidal), dan stabilitas (al-tsabat). Sikap-sikap itu merupakan disiplin sosial yang sangat erat hubungannya dengan ajaran Islam yang mempunyai cakupan luas, seluas aspek kehidupan yang berarti, bahwa Islam sebenarnya mampu menjadi sumber referensi nilai bagi bentuk-bentak kehidupan sosial. Lebih dari itu, mengaktualisasikan sikap-sikap itu dengan motivasi ajaran dan perintah agama, berarti melakukan ibadah. Disiplin sosial dapat juga identik dengan ibadah dalam Islam (dengan amal). Dari uraian di atas, dapatlah diambil kesimpulan, bahwa masalah-masalah sosial ke agamaan Islam meliputi semua aspek kehidupan sosial sementara itu ajaran Islam telah meletakkan landasan yang kuat dan fleksibel bagi sikap dan perilaku dalam disiplin sosial. Pendidikan ke arah itu sebenarnya implisit masuk dalam pendidikan Islam. Karena pendidikan Islam seutuhuya yang menyangkut iman (aspek ‘aqidah), Islam (aspek syari’ah), dan ihsan (aspek akhlaq, etika dan tasawuf) akan berarti melibatkan semua aspek rohani dan jasmani bagi kehidupan manusia sebagai makhluk individual mau pun makhluk sosial.
AGUS NUR SHOLICHIN Guru MAN 5 Bojonegoro