Mendidik anak-anak dengan hati adalah suatu keinginan yang perlu mengalir dalam urat nadi kita setiap kali berada di depan kelas. “Mendidik  Dengan Hati”, kata-kata itu sungguh amat susah untuk dilaksanakan walaupun sebenarnya sangat mudah untuk diucapkan. Dan saya yakin semua orang yang menjadi guru punya keinginan untuk mendidik muridnya dengan hati, tapi keinginan itu bagi sebagian guru hanya sebuah harapan yang sulit sekali untuk diwujudkan bahkan mungkin saja bagi sebagian guru bukan hanya sulit tapi mustahil untuk mewujudkan kenginan “mendidik dengan hati” kepada para muridnya.

                 Mendidik dengan hati adalah mendidik dengan kelembutan dan penuh kasih sayang, yang mana dua hal ini adalah bersumber dari hati. Salah satu cara pengajaran ini adalah dengan memberikan lebih banyak cinta terhadap pekerjaan sebagai pendidik juga kepada anak didiknya. Dengan menyadari bahwa mereka adalah titipan mulia yang harus  diajari dari tidak tahu menjadi tahu, dididik dari tidak baik menjadi baik. Betapa banyak sekarang mereka yang terpaksa atau terjebak menjadi guru hanya sekadar mengajar tanpa mengerti dan mengenal bagaimana mengajar dan mendidik dengan hati dan kelembutan. Tak sedikit guru yang hanya bisa menjadi pengajar yang hebat dan menyampaikan materi pelajaran dengan sempurna tetapi sedikit sekali mereka yang bisa mendidik muridnya menjadi lebih baik. Akibatnya tak sedikit pula guru yang menggunakan kekuasaannya untuk menjadi monster bagi anak didiknya sendiri.

                 Mereka lebih senang membentak dibandingkan peduli dan berbagi, lebih suka memberi hukuman dibandingkan motivasi dan pujian. Bila demikian, tidak ada bahasa hati yang mereka terima agar mereka mengerti apa yang guru inginkan. Mengajar dan mendidik dengan cinta akan melahirkan generasi yang tumbuh dengan sifat positif, seperti kepercayaan diri yang tinggi, berani, bertanggung jawab, dan tidak mudah patah semangat.

                 Mendidik dengan hati bukan hanya menyampaikan materi sebanyak-banyaknya kepada murid dan hati sang guru mati rasa, tetapi mampu menghadirkan hati di kelas ketika berhadapan dengan para siswanya dan sejauh mana perkataan yang berkualitas menyentuh hati mereka, tentu kita mendambakan apa yang kita sampaikan dapat menghujam ke dalam jiwa, mengakar ke dalam dada, memberikan pengaruh ke dalam ibadah, membangun akhlak mulia sehingga membentuk generasi harapan bangsa dan agama. Guru teladan dari Ohio, Akmeli Stanelle mengatakan “orang akan selalu melupakan apa yang kita lakukan. Mereka juga akan selalu melupakan apa yang kita katakan. Tetapi mereka tidak akan pernah melupakan apa yang mereka rasakan karena kita”. Artinya guru yang menyampaikan dengan hati akan sampai juga ke hati para murid-muridnya.

                 Profesor Moh. Surya menyatakan bahwa ada empat level guru yang kita kenal di dalam dunia pendidikan kita. Tiap level tentu saja memiliki kapasitas dan kualitas yang berbeda, keempat level itu adalah:

  1. Guru Aktual, yakni guru yang datang ke sekolah, ikut PLPG, terima sertifikasi tiap bulan terima gaji, tapi batinnya belum tentu menjadi guru. Ia melaksanakan tugasnya semata-mata karena tuntutan formal guru.

  2. Guru Harmonis, yakni guru yang biasa mengajar dengan baik, tekun, rajin, bagus, tapi batinnya tidak ingin menjadi guru, dan selalu cari kesempatan untuk keluar dari guru. Ia tampil sebagai guru dengan kemapuan memanipulasi kondisi dirinya untuk tampil sebagai guru yang baik. Dan dengan demikian ia nampak harmonis sebagai guru, meskipun tidak seluruhnya bersumber dari kondisi pribadi yang dituntut sebagai guru. Kadang-kadang ada konflik antara kondisi pribadinya dengan tuntutan sebagai guru, namun dapat dimanipulasi sedemikian rupa sehingga nampak harmonis.

  3. Guru Karakter, yakni guru yang tampil penuh dengan karakternya. Yakni sosok guru yang mewujud berbasis karakter yang melekat dalam dirinya sebagai bagian dari keseluruhan kepribadiannya yang telah terbentuk sejak kecil dan bukan terbentuk karena pelatihan seperti PLPG, dan sebagainya. Dengan demikian penampilan kinerjanya sebagai guru sesuai, serasi, selaras, dan seimbang dengan karakter yang melekat dalam dirinya. Penampilannya sebagai guru sekaligus menampilkan kualitas karakternya.

  4. Guru Qolbu, yakni guru yang benar-benar jadi puncak, guru dengan level tertinggi. Yakni guru yang penampilannya berbasis kualitas qalbu atau hatinya, secara tulus ikhlas menjadi guru adalah bagian dari kebajikan yang tertanam dalam qolbunya.

                 Guru yang sudah pada level keempat adalah guru yang selalu berkomunikasi dengan hati, Mendidik dengan hati artinya seorang pendidik dalam menyampaikan keilmuan harus memiliki keilkhlasan dan kecintaan serta mengedepankan sikap bersahabat, menyenangkan, empati, konsistensi terhadap komitmen, antusias, membangun team work, ramah, santun dan sabar.

                 Mendidik dengan hati bukan hanya siap mengajarkan kepada anak, namun juga siap mendengar secara reflektif apa pun yang diucapkan anak. Memahami dan menghargai perasaannya serta menampakan bahwa kita benar-benar menyimak apa yang dikatakan, ulangi apa yang dia ucapkan, dan ekspresikan bahwa kita sedang memikirkan perasaannya, berikan respon positif, berikan umpan balik dengan nasihat atau usulan yang membangun jiwanya.

                 Kegiatan dan hasil pembelajaran di sekolah akan jauh berbeda antara pengajaran kognitif dan mendidik dengan hati. Pengajaran kognitif memberi dampak kepada sulitnya pelajaran diserap oleh murid. Seringkali kita melihat bahwa murid yang membenci guru matematika akan membenci pelajaran matematika. Murid yang membenci guru kimia akan membenci pelajaran kimia, apalagi di Sekolah Dasar jika siswa tidak menyenangi guru kelasnya maka semua mata pelajaran yang diajarkan tidak ada yang bisa dipahami siswa.

                 Mendidik dengan hati memberikan suatu keyakinan kepada setiap murid, bahwa mereka mampu berprestasi, bisa berkreasi, dan melakukan yang terbaik. Kekuatan pancaran hati dari pendidik kepada murid berpengaruh terhadap utuhnya kesuksesan pendidikan. Dengan demikian pembelajaran yang bermakna, bukan melulu guru mengajari ilmu dan fakta (transfer ilmu semata) melainkan kerja hati  yang merupakan kekayaan yang Allah berikan.  Bahasa hati melebihi bahasa tubuh.

                 Kesuksesan mendidik bukan semata-mata dari betapa kerasnya otot dan betapa tajamnya otak, namun juga betapa lembut hati pendidik dalam berhubungan dengan muridnya.kita sangat sepakat apa yang dikatakan oleh Dorothy Law Nolte tentang Filosofi mendidik yaitu “Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar berlaku adil. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menentukan cinta dalam kehidupan”

                 Guru yang mendidik dengan hati targetnya tidak saja anak didiknya sukses di dunia tetapi jauh dari itu, yaitu “Never Ending Succes” artinya tidak saja targetnya siswa sukses di dunia saja, tapi sukses dunia dan akhiratKita harus benar-benar menggunakan hati kita untuk mengerti para murid, untuk mengetahui apa yang terjadi di dalam hati dan pikiran mereka dan bagaimana menyelaminya dan berusaha untuk berempati dan mencari solusinya. Guru yang mendidik dengan hati akan selalu mendapatkan royalti yang mengalir secara terus-menerus tanpa henti dari semua kebaikan yang sudah diberikannya sampai ke akhirat nanti.