Dunia pendidikan di Indonesia tampaknya tidak pernah lepas dari masalah, ini akan selalu ada terus selama pendidikan masih berlangsung. Permasalahan yang sering mendapat sorotan adalah profesi guru. Hal ini terjadi setelah terealisasinya program sertifikasi guru yang dilaksanakan oleh pemerintah. Dengan adanya program sertifikasi, profesi guru tidak lagi di pandang sebelah mata. Profesi guru saat ini menjadi pilihan utama. Banyak siswa dengan kemampuan akademik tinggi menjadikan guru sebagai pilihan cita-citanya. Tampaknya profesi guru akan setara dengan profesi dokter.
Kita sering mendengar tindakan malpraktik dalam bidang medis yang diakibatkan kesalahan tenaga medis atau dokter. Kesalahan tersebut mengakibatkan seorang pasien tambah menderita bahkan meninggal dunia. Bukannya mendapat pertolongan malah menambah penderitaan. Hal tersebut bisa saja dikarenakan salah mendiagnosis, salah memberikan obat, salah penanganan, atau salah prosedur, dll.
Namun, bagaimana dengan dunia pendidikan? Apakah di dunia pendidikan bisa terjadi malpraktik sebagaimana di dunia medis? Jawabannya bisa. Dari artikel pendidikan karya Satya Aris (2018) di ungkapkan ternyata “malpraktik bisa terjadi di dunia pendidikan”. Dari seribu kesuksesan yang dicetak guru, ternyata masih menyisakan seratus lebih kesalahan untuk siswanya. Akibat dari kesalahan penanganan seorang guru, ternyata berakibat sangat fatal. Misalnya jika siswa kita menjadi tokoh masyarakat pastinya akan menjadi panutan. Jika ilmu yang di ajarkan guru tadi salah, maka akan berakibat fatal untuk masyarakat itu sendiri dan kegenerasi berikutnya. Kalau ini terjadi berarti seorang guru telah melakukan kesalahan atau pembodohan secara stuktural. Mungkin beberapa hal sudah kita sadari, namun belum memahami bahwa itu adalah malpraktik.
Dr.Said Hamid Hasan dalam Suwarno (2018) menjelaskan ada tiga kategori tindakan malpraktik di bidang pendidikan. Pertama, Banyak tugas mengajar oleh seseorang guru tidak sesuai dengan kualifikasi latar belakang pendidikan yang diprasyaratkan oleh peraturan tentang profesi guru. Hal ini dijelaskan dalam UURI No. 14 tahun 2005 (pasal 8) bahwa “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional” dan pasal 9: Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Inilah yang seharusnya menjadi landasan hukum bagi setiap penyelenggara pendidikan, termasuk sekolah swasta, dalam merekrut dan penempatan tenaga pendidik di sekolah.
Kita sering mendengar, bahwa masih banyak sekolah memiliki guru yang tidak memenuhi kualifikasi seperti yang tertulis di UU. Beberapa sebab, satu diantaranya adalah distribusi guru yang tidak merata. Banyak sekali guru di daerah terpencil yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai pendidik terpaksa direkrut, sementara guru yang memenuhi kualifikasi menumpuk di perkotaan.
Kedua, malpraktik terjadi ketika seorang guru melaksanakan tugas tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan atau keilmuan yang dimilikinya, misalnya seorang guru bahasa Indonesia mengajar Agama atau pelajaran lain. Ini sering terjadi di sekolah. Penyebabnya mungkin karena kurangnya tenaga pendidik untuk jurusan tertentu sehingga diatasi dengan cara menugaskan guru lain yang bukan bidangnya. Atau karena lulusan calon guru berlatar belakang tertentu jarang, seperti guru dari lulusan pendidikan kimia atau fisika.
Guru yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan atau keilmuannya memang bisa melakukan transfer pengetahuan kepada murid. Namun, guru tersebut bukanlah pendidik profesional karena melanggar UU tentang guru dan dosen. Memang tidak sepenuhnya guru yang salah. Sering juga terjadi karena guru yang bersangkutan ditugaskan/dipekerjakan oleh yayasan, bila ia mengajar di sekolah swasta, dan mau atau tidak-mau harus menuruti “kehendak” yayasan. Dalam hal ini, yayasan atau penyelenggara pendidikan yang perlu memahami pentingnya profesionalitas guru.
Ketiga, malpraktik yang dilakukan oleh seorang guru yang memang memiliki kewenangan sebagai guru tetapi melakukan tindakan profesi yang salah misalnya seperti melakukan bullying, memberikan penjelasan yang menyesatkan, melakukan diskriminasi terhadap siswa karena latar belakang (sosial, ekonomi, psikologi, agama, etnis, gender, dll), menilai prestasi siswa secara salah dan mengambil keputusan/tindakan salah.
Dalam UURI No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pada pasal 20 (c), tertulis bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban “bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran. Kenyataan di lapangan, banyak guru memberikan nilai secara tidak objektif. Misalnya, kalau nilai prestasi seorang anak sering di bawah standar, maka dengan “rasa iba” sang guru memberikan nilai sesuai standar karena pengaruh tekanan dari atasan agar sekolah tidak “malu”. Atau tekanan dari orang tua murid yang menginginkan nilai anaknya bagus semua. Masih banyak juga terdapat di sekolah guru-guru yang memarahi murid dengan kasar, mengancam dengan cara mengurangi nilai, menghukum secara berlebihan, bahkan ada yang sampai pelecehan seksual.
Membaca penjelasan di atas rasanya menggambarkan wajah pendidikan kita saat ini. Pendidikan kita banyak diwarnai malpraktik. Siapa lagi korbannya, kalau bukan generasi muda bangsa ini. Harapannya janganlah ada lagi tindakan malpraktik yang bersumber dari guru. Pemerintah dan masyarakan sebagai penyelenggara pendidikan harusnya segera merespon. Hal ini penting agar tidak terjadi multitafsir terhadap kategori-kategori suatu tindakan masuk dalam kategori malpraktik atau bukan. Guru harus lebih professional dalam tugasnya. Tidak hanya mengharapkan tinjangan profesinya saja. Selain itu, manajemen pendidikan harus dibenahi. Landasan hukum, landasan psikologi, landasan filsafat, dan landasan lain dalam pendidikan harus diperjelas dan ditegaskan kembali. Dan masih banyak lagi yang harus dilakukan demi tercapainya tujuan pendidikan nasional.