Said Edy Wibowo*)

Pembelajaran dalam kelas adalah proses interaksi luar biasa. Secara eksplisit terlihat sebuah interaksi antara guru dengan murid ataupun murid dengan murid. Secara implisit terjadi interaksi psikologis antara sejumlah individu satu dengan yang lain. Jalur interaksi  psikologis ini akhirnya mempunyai alur yang begitu kompleks. Interaksi psikologi tersebut masih ditambah lagi dengan interaksi individu dengan lingkungan tempat belajar. Belum lagi bagaimana sekat-sekat psikologis anak terkait keluarga ataupun teman-teman mereka. Kondisi demikanlah yang sebenarnya dihadapi oleh seorang guru. Apa yang terjadi jika seorang guru belum mampu mengkondisikan proses interaksi ini? Jawabnya adalah sebuah proses pembelajaran yang tidak optimal. Apa yang harus dilakukan guru dalam mencapai keberhasilan pembelajaran? Salah satu jawabannya adalah pengetahuan kondisi kelas. Meskipun kita menyadari bahwa kelas bukanlah satu-satunya tempat kegiatan pembelajaran, guru harus memiliki prior kwnoledge tentang kelas. “Gagne menegaskan bahwa fungsi instruktur adalah menyediakan kondisi-kondisi yang akan menambah kemungkinan siswa memiliki performent khusus dan berciri khas.” Bruce joyce dkk. dalam Models of Teaching (2009:496) Kondisi-kondisi pendukung pembelajaran dapat kita interprestasikan satu diantaranya adalah kelas. Kelas adalah tempat pelaksanaan proses pembelajaran yang paling sering digunakan.  Kelas adalah panggung pertunjukan.  Semua siswa dan guru terlibat dalam konteks belajar dalam kelas. Tentu saja guru adalah sutradara sekaligus aktor. Guru harus mampu menciptakan scenario dan seting pertunjukkan pembelajaran. Bahkan guru harus mampu juga merancang dan menyiapkan segenap property  pembelajaran. Sungguh sebuah pertunjukan yang memuakkan ketika kelas tampak begitu lelah dan membosankan. Apalagi jika konteks pertunjukan pembelajaran itu tampak begitu rutin. Pertunjukkan pembelajaran berlangsung tanpa kejutan emosi. Hasilnya siswa merasa  jenuh dan hambar dalam kelas. Emosi siswa tertuju kapan pertunjukan ini akan berakhir.

Selain pengetahuan akan kondisi sarana dan prasarana kelas, guru selayaknya mengetahui juga akan makna sebuah pembelajaran. “Ada beberapa pengertian tentang belajar salah satu pengertian adalah bahwa belajar adalah suatau proses, suatu kegiatan dan bukan suatau hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, tetapi lebih luas dari pada itu, yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatau penguasaan hasil latihan, merupakan perubahan perilaku.” Oemar Hamalik dalam Kurikulum dan Pembelajaran (2003:36) Sedangkan Dr. Dimyati dan Drs. Mudjiono (1999 : 18) mengatakan bahwa “belajar merupakan proses internal yang kompleks. Yang terlibat dalam proses internal tersebut adalah seluruh mental yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Dari kegiatan interaksi mengajar dan belajar, guru membelajarkan siswa dengan harapan bahwa siswa belajar”  Conny Semiawan ( 1988: 9) menyampaikan “kalau  kita hendak mengaktifkan siswa dalam belajar, seyogyanya kita membuat pelajaran itu menantang, merangsang daya cipta untuk menemukan, serta mengesankan.”

Pengetahuan guru akan kondisi kelas, pembelajaran dan kurikulum akan mengarahkan pada prakondisi mengajar. Karena dalam realitas pembelajaran guru harus mempunyai kompetensi strategi pembelajaran dan tujuan akhir mengajar. Learnin to teach menyajikan tujuan akhir mengajar adalah untuk membantu siswa agar dapat menjadi pelajar yang independen (mandiri) dan self-regulated (mampu mengatur dirinya sendiri), …. Pandangan ini mengacu pada dua hal pertama pengetahuan tidak sepenuhnya tetap dan dapat ditularkan/diteruskan, tetapi sesuatu yang dikonstruksikan secara aktif oleh semua individu, siswa maupun  orang dewasa , melalui pengalaman pribadi maupun social. Kedua hal terpenting yang seharusnya dipelajari siswa adalah how to learen (ibid:17) Pendapat ini menguatkan akan pembelajaran kontruktivistik; hasil belajar adalah berupa perilaku dan mind set peserta didik tentang belajar. Hasil belajar secara eksplisit memang dapat  juga diukur dengan sejauh mana kompetensi siswa terkait materi pembelajar. Dengan demikian guru harus mengetahui bahwa tujuan mengajar bukan saja menanamkan sejumlah  pengetahuan (kwnoledge) tetapi juga harus membentuk karakter belajar peserta didik.

Akhirnya dalam konteks sebuah pembelajaran kompetensi vital yang harus dikuasai seorang guru adalah kemampuan menentukan strategi sebuah pembelajaran. Sederet tuntutan keberhasilan sebuah pembelajaran semua bermuara pada bagaimana seorang guru mampu membelajarkan peserta didik. Arthuur Wise (1995) ketua National Council for Accreditation of Teacher Association (NCATE) menyatakan Guru seharusnya mampu menggunakan berbagai strategi untuk mengembangkan pemikiran kritis dan problemsolving (ibid:15) Guru yang kaya dengan strategi akan mampu menkondisikan kelas dengan baik, membelajarkan siswa secara optimal dan dapan menilai secara tepat. Seorang guru harus mampu memberikan perintah yang cermat dan tepat. Perintah yang sesuai dengan strtegi pembelajaran yang dipiih.

“Pembelajaran  adalah suatu proses interaksi  (hubungan imbal balik) antara guru dengan siswa. Dalam proses tersebut guru memberikan bimbingan dan menyediakan berbagai kesempatan yang dapat mendorong siswa belajar dan memperoleh pengalaman sesuai  dengan tujuan.” Oemar Hambalik (2003:148) Merujuk pendapat di atas kita dapat berasumsi bahwa guru mempunyai peran utama dalam  menskenario berlangsungnya pembelajaran secara optimal. Pembelajaran optimal adalah sebuah pembelajaran yang secara proses dapat menunjukkan tingginya tingkat partisipasi siswa. Secara hasil siswa mampu mencapai ketuntasan  pembelajaran. Salah satu perwujudan peran guru adalah tindak komunikasi guru dalam kelas dengan bahasa. Tindak berbahasa dapat menghasilkan kondisi kelas yang bersahabat. Dapat dikatakan bahwa tindak berbahasa guru merupakan sebuah strategi dalam pengelolaan kelas.

Bahasa mempunyai fungsi yang sangat kompleks dalam kehidupan manusia, baik secara individual maupun komunal. Namun kita harus akui bahwa fungsi pusat atau utama dari bahasa adalah sebagai media komunikasi, Sarwiji Suwandi ( Serba Linguistik hal 57-58). Penggunaan bahasa dalam kehidupan begitu kompleks. Bahasa ada dalam setiap individu berada. Berbagai macam aktivitas masyarakat tampaknya tidak lepas dari bahasa. Penggunaan bahasa juga begitu terlihat dalam konteks hypnosis.

Banyak orang salah mengerti dengan kata hipnosis. Hipnosis selalu dikaitkan dengan supranatural. Bahkan berbahaya karena terkait dengan kegelapan, magic, atau ilmu sesat. Hypnosis dapat digunakan untuk menguasai pikiran orang lain sehingga mampu diperintahkan oleh hipnotis. Demikian menurut Adi W. Gunawan (2007:4). Andri Hakim menyampaikan beberapa pandangan tentang hypnosis di masyarakat diantaranya adalah tidak tahu-menahu dan tahu sedikit tetapi salah tanggap. (2010:2) Berdasarkan pendapat di atas tampaknya ada berbagai interprestasi tentang hypnosis. Ada interprestasi positif dan ada interprestasi negatif. Terlepas dari dua interprestasi itu, peristiwa tersebut terlaksana dengan instrument bahasa.

Hypnosis berdasarkan U.S. department of Education, Human Services Division adalah; ”Hypnosis is the by-pass of the critical factor of the conscious mind followed by the establishment of acceptable selective thinking.” Atau “ Hipnosis adalah penembusan factor kritis pikiran sadar diikuti dengan diterimanya suatu pemikiran atau sugesti.” (Novian Triwidia Jaya, 2010:6) James Braid dalam Andri Hakim menyatakan hypnosis adalah fenomena trans akibat adanya tidur saraf karena terfokus pada objek tertentu (op.cit: 1) Dapat diartikan bahwa hypnosis adalah keadaan relaks dalam kesadaran sehingga dapat terfokus dan tersugesti. Hipnosis tidak dapat dilakukan orang lain tanpa ada kemauan dari orang yang dihipnosis. Sebaliknya seseorang dapat melaksanakan hipnosis pada diri sendiri. Kondisi demikian kadang tidak sama dengan penggunaan hypnosis dalam kapasitas intertaiment.

Perkembangan berikutnya hipnosis berkaitan dengan hypnotherapy, hypno teaching, hypnosis in teaching, hypno writing dan sebagainya. Terkait dengan hypnotherapy terdapat: hypnosis for Birth, hypnosis for Children, hypnotherapy for Clinical Applied, Maritel and Sex Hypnotherapy, Modifikasi NLP-Nac for Hypnosis demikian Yuss Santos dalam Panduan Advance Hypnotherapy (2009:4). Sekali lagi semua aktivitas hypnosis di atas terkait dengan pengoptimalan penggunaan bahasa dalam pikiran bawah sadar.

Tindak berbahasa dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu misalnya berhenti merokok, menghilangkan trauma, membangkitkan motivasi belajar dan sebagainya. Kinayati Djojosuroto (2007:293-294) menyampaikan bahasa bukan sekedar alat berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga diperlukan untuk berpikir itu sendiri. Bahasa juga punya fungsi mengekspresikan emosi, memerintah, menyampaikan bujukan (secara umum disebut “fungsi-fungsi emotif”). Sementara itu, G. Revesz  dalam Sarwiji Suwandi (2008:57) mengemukakan tiga fungsi yang dimiliki oleh bahasa, yakni (1) indikatif, (2) imperative,dan (3) interogatif. Berdasarkan pendapat di atas bahasa dapat digunakan untuk membujuk atau mempengaruhi pikiran orang lain. Penggunaan hypnosis dalam konteks guru yang bersahabat adalah bagaimana guru mampu membuat siswa terfokus dalam proses pembelajaran.

Berdasarkan uraian di atas ada beberapa hal yang dapat kita sampaikan ; (1) guru diharapkan mempunyai pengetahuan awal tentang kondisi kelas; (2) guru  mampu memilih strategi pembelajaran yang mengoptimalkan belajar siswa; (3) guru mampu membangun suasana belajar yang bersahabat; (4) guru mampu menggunakan bahasa dalam tingkata komunikasi yang optimal ; (5) guru selalu ditunggu hadirnya dan di rindukan jika tidak mengajar, semoga bisa menjadi guru yang selalu di dambakan hadirnya oleh siswa . Aamiin.

(Dikutip dari beberapa  Literatur dan kajian Pustaka)

*) Guru MAN 5 Bojonegoro