Beberapa tahun yang lalu, ada sebuah peristiwa irrasional yang menimpa salah satu penggagas hak angket Century dari Fraksi Partai Keadilan Sejahterea (FPKS), Mukhamad Misbakhun. Berdasarkan desas-desus yang berkembang dia dicoret jadi anggota Pansus Century, konon karena mencium tangan Mantan Presiden Republik Indonesia ke-4 yakni almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat bersilaturahim.

Cerita unik ini beredar di kalangan wartawan yang ngepos di DPR dan sejumlah politisi PKS di DPR. Misbakhun menuturkan, meski dia kader PKS, dia berasal dari tradisi Nahdlatul Ulama (NU) yang bila menghormati tokoh, salah satunya dengan cara cium tangan. Yang dilakukan saat bertemu Gus Dur bukanlah bentuk kultus individu, tetapi murni penghormatan sebagai seorang anak NU yang menghargai salah satu sesepuhnya.

Memang, di kalangan masyarakat santri, figur kiai secara umum kerap dipersepsikan masyarakat sebagai pribadi yang integratif dan merupakan cerminan tradisi keilmuan dan kepemimpinan, ‘alim, menguasai ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan mengedepankan penampilan perilaku berbudi yang patut diteladani umatnya. Semakin tinggi tingkat kealiman dan rasa tawadlu’ kiai akan semakin tinggi pula derajat penghormatan yang diberikan santri dan masyarakat.

Sebaliknya, derajat penghormatan umat kepada kiai akan berkurang seiring dengan minimnya penguasaan ilmu dan rendahnya rasa tawadlu’ pada dirinya, sehingga tampak tak berwibawa lagi dihadapan umatnya. Konsepsi kewibawaan ini telah mendifinisikan fungsinya menjadi etika normatif dunia pesantren, yang oleh budayawan Mohamad Sobari disebut sebagai tipe kewibawaan tradisional.

Sebagai ilustrasi, menurut keyakinan santri, mencium tangan Kiai merupakan berkah dan dinilai ibadah, meski orang-orang yang berpandangan puritan mengejeknya sebagai “kultus” individu, dan karena itu syirik. Mereka tetap tak peduli, sebab mereka beranggapan tidak mencium “tangan” yang sebenarnya, karena perbuatan tersebut sedang memberikan penghormatan yang dalam kepada suatu “otoritas”, yaitu kiai.

Hal ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah dan dan atsar para sahabat berikut ini. Di antaranya;

Pertama, hadits shahih riwayat Az Zarra’ dalam Sunan Abi Daud:

 عن الزارع العبدي وكان من وفد عبد قيس قال: لما قدمنا المدينة، فجعلنا نتبادر من رواحلنا فنقبل يد النبي صلى الله عليه وسلم ورجله. قال: وانتظر المنذر الأشج حتى أتى عيبته فلبس ثوبيه، ثم أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال له:إن فيك خلتين يحبهما الله الحلم والأناة. قال: يا رسول الله أنا أتخلق بهما أم الله جبلني عليهما؟قال: بل الله جبلك عليهما. قال: الحمد لله الذي جبلني على خلتين يحبهما الله ورسوله.

Artinya: Dari Az Zarra’ al abidiy dia termasuk utusan Abdu Qais berkata: “Ketika kami sampai ke Madinah, kami bergegas turun dari kendaraan kami lalu kami mencium  tangan dan kaki Nabi Muhammad ShallaAllah alihi wa sallam.” Al hadits

Kedua, Hadits shahih riwayat Usamah bin Syuraik

عن أسامة بن شريك قال: قمنا إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقبلنا يده

Artinya: Dari Usamah bin Syuraik berkata, “Kami berdiri kepada Nabi Muhammad lalu kami mencium tangannya”

Ketiga, Hadits shahih dari Jabir

عن جابر أن عمر قام إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقبل يده

Artinya: Dari Jabir bahwa Umar berdiri kepada Nabi lalu mencium tangannya.

Keempat, Hadits Shofyan bin ‘Assal

عن صفوان بن عسال أن يهوديا قال لصاحبه: اذهب بنا إلى هذا النبي صلى الله عليه وسلم .قال: فقبلا يده وقالا: نشهد أنك نبي الله صلى الله عليه وسلم.

Artinya: Bahwa ada seorang Yahudi berkata kepada temannya, Ajaklah kami kepada Nabi ini shallaAllahu alaihi wa sallam. Lalu ia berkata: kedua orang itu lalu mencium tangan Nabi seraya berkata, kami bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah subhanahu wa ta’ala.

Dalam kitab sunan yang tiga (Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i) dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata:مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَشْبَهَ سُمْتًا وَهَدْيَا وَدَلاًّ بِرَسُوْلِ اللهِ مِنْ فَاطِمَةَ، وَكَانَ إِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ قَامَ إِلَيْهَا فَأَخَذَ بِيَدِهَا فَقَبَّلَهَا وَأَجْلَسَهَا فِيْ مَجْلِسِهِ، وَكَانَتْ إِذَا دَخَلَ عَلَيْهَا قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ، وَأَجْلَسَتْهُ فِيْ مَجْلِسِهَا.“Aku tidak pernah melihat seorangpun lebih mirip dengan Rasulullah dari Fathimah dalam sifatnya, cara hidup dan gerak-geriknya. Ketika Fathimah datang kepada Rasulullah, maka Rasulullah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Fathimah, kemudian Rasulullah mencium Fathimah dan membawanya duduk di tempat duduk beliau. Dan apabila Rasulullah datang kepada Fathimah, maka Fathimah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Rasulullah, kemudian mencium Rasulullah, setelah itu ia mempersilahkan beliau duduk di tempatnya”.

Dengan demikian, predikat nilai ke-Kiai-an yang berotoritas dan menyandang kewibawaan spiritual kharismatik bukanlah sangat bergantung pada garis keturunan atau karena dari faktor nasabiah, melainkan harus pula ditempuh dengan cara-cara yang rasional, karena tergantung kepada derajat kealiman juga diimbangi oleh teladan perilaku berbudi (akhlak al-karimah). Dalam arti, secara teoritik dan formal bahwa seorang pengasuh pesantren memang harus memiliki kompetensi yang memadai dan telah pula memiliki religious commitment yang kuat. Yaitu penampilan sosok pribadi yang integratif antara ilmu dan amaliahnya.

Aspek-aspek komitmen religius yang kuat itu meliputi, aspek keyakinan (the belief dimension), ritual peribadatan beserta aurad-dzikirnya (religious practice: ritual and devotion), pengalaman keagamaan (the experience dimension), pengalaman batiniah/rohaniah (spiritual dimension), pengetahuan agamanya maupun kosekuensi-konsekuensi amaliah seorang Muslim yang terbentuk secara baik. Maka tidak mengherankan dengan potensi dan kompetensi tersebut kalau seorang kiai pesantren menduduki posisi puncak yang kukuh dalam struktur sosial terutama dalam lingkaran komunitas pesantren. Munculnya fenomena kewibawaan kharismatik tersebut juga dapat ditelaah secara kritis dalam perspektif konsepsi-teori relasi-kuasa model Michel Foucault (2002), yang mendaraskan adanya kuasa pengetahuan sehingga melahirkan otoritas dan power pada seseorang karena memiliki kewibawaan kharismatik.

*AGUS NUR SHOLICHIN*

GURU MAN 5 BOJONEGORO