Kehidupan beragama di Indonesia sekarang ini ditandai dengan fenomena yang agak merisaukan. Di satu pihak terjadi revitalisasi semangat keagamaan dengan menonjolkan simbol-simbol keagamaan di ruang publik secara sangat menonjol, namun di lain pihak berbagai kasus yang menciderai kehidupan beragama terjadi terus menerus. Gelombang penyesatan satu kelompok atas kelompok yang lain dalam komunitas agama belum ada tanda-tanda berhenti. Hubungan antar agama juga seringkali tidak tampak bagus dipermukaan.

               Agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan terorisme. Ini jelas kontras dengan nilai-nilai agama yang mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan. Meskipun faktanya, ada sekelompok orang yang jelas-jelas mengatasnamakan tindakan kekerasannya dengan mengatasnamakan agama. Orang juga menyaksikan bahwa agama sering digunakan sebagai landasan ideologis dan pembenaran simbolis bagi kekerasan. Jika situasi ini tidak dikelola dengan baik bukan tidak mungkin pada saatnya akan menjadi ledakan sosial. Oleh karena itu sulit menjawab pertanyaan, bagaimana agama bisa menjadi dasar suatu etika untuk mengatasi kekerasan? Padahal, agama baru menjadi konkret sejauh dihayati oleh pemeluknya. Apalagi bila diyakini, bukan agamanya yang “bermasalah”, tetapi manusia pelaku teror itu yang “bermasalah” karena menyalahgunakan pemahaman agamanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok sehingga menyulut kekerasan.

               Tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama cenderung dilakukan oleh individu (dalam bahasa Giddens: agen) yang memiliki pemahaman agama yang dangkal. Beberapa figur yang melakukan kegiatan teror, diketahui sebagai orang yang memiliki latar belakang pendidikan sekular, seperti Osama bin Laden, Aiman Al-Zawahry, Azhari, Noordin M. Top. Dorongan internal yang merasa nilai-nilai di masyarakat sudah tidak sesuai dengan nuraninya dan dorongan eksternal yang melihat ketidakadilan dari para pemegang kekuasaan di “dunia”, memicunya memiliki semangat keberagamaan yang berlebihan. Di sinilah individu itu mencari tokoh panutan yang bisa memenuhi rasa dahaga semangat keberagamaannya yang meletup-letup. Ciri-ciri tokoh seperti itu biasanya terdapat pada figur panutan yang berpandangan keras dan berhaluan radikal. Lalu, terjadilah proses pendangkalan paham keagamaan karena biasanya tokoh seperti itu tidak memberikan alternatif pemahaman, tetapi hanya memberikan sudut pandang berdasarkan pada versi pemahaman yang diyakininya. Pada titik inilah, klaim kebenaran tunggal (Truth Claime) biasanya terjadi.

               Klaim kebenaran tunggal itu lalu membuatnya mengidentifikasi tentang siapa “kami” (inner group) dan siapa “mereka” (outer group). Setelah identifikasi terselesaikan, barulah pelaku teror itu menentukan target dan terjadilah tindakan

               Isu terorisme menjadi perhatian saat ini. Mengapa terorisme? Terorisme kini telah menjadi concern internasional. Kalau dulu, masyarakat Indonesia masih bisa mengatakan bahwa terorisme “masih jauh”, kini terorisme sudah menjadi isu di teras rumah. Kita tidak pernah menyangka, ternyata pelaku-pelaku tindak kekerasan dan terorisme ada di sekitar teras rumah kita, tidak lagi ada di Palestina, Afghanistan atau Pakistan. Penangkapan jaringan terorisme yang sekarang sedang diungkap aparat kepolisian sangat jelas menunjukkan hal itu.

               Hingga saat ini, banyak pihak masih berusaha kerasa untuk mencari cara menangkal sekaligus melawan aksi-aksi radikal. Para ilmuwan dari berbagai disiplin berusaha menemukan factor apa yang bekerja dibalik radikalisme dan mencari tahu proses apa yang terjadi hingga orang bersedia mengorbankan nyawanya sendiri untuk melakukan aksi teror.

               Mereka yang dikenal masyarakat lingkungannya sebagai orang baik, sopan, tukang jahit, guru ngaji dan sebagainya ternyata menjadi bagian dari kotak pandora terorisme. Hal yang lebih problematik dari kenyataan itu adalah sering digunakannya agama sebagai dalil pembenar atas aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh mereka. Dalam situasi demikian, menjadikan masyarakat berada dalam suasana kekhawatiran dan ketakutan akan terjadinya peledakan bom di tempat dan waktu yang tidak terpikirkan sebelumnya.

               Hal lain yang mendukung adanya gerakan tersebut adalah keberadaan pesantren. Menjadi penting untuk mengetahui perspektif kalangan Muslim sendiri tentang apakah pesantren yang merupakan salah satu pilar utama pendidikan di komunitas Islam di negeri ini memang dianggap sebagai ”breeding ground” atau bahkan menggunakan istilah yang lebih seram, “sekolah bagi para teroris”. Informasi tentang persepsi masyarakat ini juga penting diketahui pemerintah sehubungan rencana-rencana kebijakan pemerintah terhadap aneka pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia.

               Masalah terorisme tidak bisa diserahkan ke pemerintah saja, dalam hal ini BNPT (Badan Nasional Penanggulngan Terorisme). Mengingat kelompok radikal ini menggunakan agama sebagai dasar pembenar tindakan mereka maka ulama dan guru agama harus mengimbangi nilai-nilai agama yang benar. Kiai, ulama, guru agama harus terus menebarkan pesan damai untuk mengcounter radikalisme dan sebagainya, bukan malah berbicara yang justru menambah kisruh.

               Aparat penegak hokum juga harus memperbanyak sosialisasi kepada masyarakat agar mereka tahu pendapat dan tindakan mana yang berpihak kepada kelompok radikal. Maka harus ada persepsi yang benar mengenai perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia) karena tak jarang atas nama HAM orang merasa berhak berbicara apa saja.

               Di sisi laian, nilai-nilai kebangsaan, yaitu pancasila dan nilai social Bhineka tunggal Ika harus diperkuat, toleransi harus ditanamkan dan dikembangkan sejak dini di sekolah. Anak didik harus diberi contoh toleransi antarsesama dengan berbagai perbedaan suku, agama, ras dan budaya agar ada rasa saling melindungi antarsesama manusia dan agar bangsa Indonesia tidak mudah dipecah belah.

               Ditangkapnya sejumlah pelaku terorisme yang berlatar belakang pesantren menimbulkan asosiasi antara pesantren, kurikulum pesantren dan terorisme. Namun mayoritas publik tidak melihat demikian. Implikasinya, penanganan masalah pesantren dalam kaitannya dengan pemberantasan terorisme harus sangat hati-hati karena sentimen komunitas Islam menolak sinyalemen pesantren sebagai sumber terorisme.