Tasawuf adalah bagian dari syari’at Islam, yakni perwujudan dari ihsan, salah satu dari tiga kerangka ajaran Islam yang lain, yakni iman dan Islam. Oleh karena itu bagaimanapun, perilaku tasawuf harus tetap berada dalam kerangka syari’at. Maka al-Junaid mengatakan sebagaimana dinukilkan oleh al-Qusyairi, “Kita tidak boleh tergiur terhadap orang yang diberi kekeramatan, sehingga tahu betul konsistensinya terhadap syari’at”. Tasawuf sebagai manifestasi dari ihsan tadi, merupakan penghayatan seseorang terhadap agamanya, dan berpotensi besar untuk menawarkan pembebasan spiritual, sehingga ia mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya, mengenal Tuhannya.

               Lahirnya tasawuf sebagai fenomena ajaran Islam, diawali dari ketidakpuasan terhadap praktik ajaran Islam yang cenderung formalisme dan legalisme. Selain itu, tasawuf juga sebagai gerakan moral (kritik) terhadap ketimpangan sosial, moral, dan ekonomi yang dilakukan oleh umat Islam, khususnya kalangan penguasa pada waktu itu. Pada saat demikian tampillah beberapa orang tokoh untuk memberikan solusi dengan ajaran tasawufnya. Solusi tasawuf terhadap formalisme dan legalisme dengan spiritualisasi ritual, merupakan pembenahan dan transformasi tindakan fisik ke dalam tindakan batin.

               Sedangkan reaksi terhadap sikap politik dan ekonomi penguasa akibat telah diraihnya kemakmuran material yang menimbulkan sikap kefoya-foyaan, berupa penanaman sikap isolasi diri dari hiruk-pikuknya duniawi. Faktor internal lainnya ialah reaksi kaum muslimin terhadap sistem sosial, politik, budaya dan ekonomi di kalangan Islam sendiri. Dengan kemakmuran di satu pihak, dan di pihak lain terjadinya pertikaian politik intern umat Islam yang menyebabkan perang saudara antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah – bermula dari al-fitnah al-kubra yang menimpa khalifah ketiga, Usman bin Affan – maka sebagian tokoh agama mengambil jarak dengan kehidupan politik dan sosial.

               Sebenarnya al-Qur’an maupun hadis Rasulullah saw. memang banyak yang bernada “mendiskreditkan” dunia, namun banyak pula yang menganggapnya positif. Turunnya ayat-ayat yang bernada mendiskreditkan dunia (misalnya surat al-Lumazah), tak lain karena berkaitan dengan sikap dan watak kafir Arab waktu itu, yang mengharapkan kekekalan dunia ini. Sedangkan ajaran-ajaran yang memandang positif terhadap dunia (misalnya surat al-Qashash: 77) dan ad-Dukhan: 38-39), karena dunia dapat dijadikan sebagai alat dan sarana untuk memberi kebahagiaan dunia dan akhirat oleh orang mukmin.

               Dari pemahaman terhadap ajaran-ajaran tadi, lahirlah pemaknaan yang menumbuhkan konsep zuhud dalam tasawuf. Dalam rentangan sejarahnya, pengaplikasian dari konsep ini dapat diklasifikasikan menjadi dua macam: yakni zuhud sebagai maqam dan zuhud sebagai akhlak Islam. Dalam konsep zuhud sebagai maqam, dunia dan Tuhan dipandang sebagai dua hal dikhotomis. Contoh yang jelas adalah ketika Hasan al-Bashri mengingatkan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz: “Waspadalah terhadap dunia ini. Ia bagaikan ular yang lembut sentuhannya namun mematikan bisanya. Berpalinglah dari pesonanya karena sedikit terpesona, Anda akan terjerat olehnya…”. Sedangkan Abdul Qadir al-Jailani dengan tegas menyatakan bahwa dunia adalah hijab akhirat, dan akhirat adalah hijab Tuhan. Bila berdiri bersama, maka jangan memperhatikan kepadanya, sehingga hati (sirr) bisa sampai di depan pintu-Nya.

               Pandangan seperti itu adalah hasil dari pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi secara tekstual, bukan pemahaman secara kontekstual dan sosiologis. Jika memahaminya secara kontekstual dan sosiologis, maka perlu memperhatikan pada masa awalnya al-Qur’an diturunkan, kondisi masyarakat Arab mempunyai anggapan bahwa dunia adalah satu-satunya yang kekal dalam kehidupan ini. Mereka beranggapan bahwa dunia ini adalah tempat yang abadi. Di sini al-Qur’an memberikan jawaban terhadap sikap seperti itu, misalnya dengan ayat-ayat al-Qur’an (QS. Al-Lumazah, al-A’la: 16-17, dan al-Hadid: 20). Sedangkan zuhud sebagai akhlak Islam, bisa diberi makna sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Sikap para ulama sebagaimana telah disebutkan tadi, merupakan reaksi terhadap ketimpangan sosial, politik, dan ekonomi yang mengitarinya, yang pada suatu saat dipergunakan untuk memobilisasi gerakan massa. Dengan demikian formulasinya bisa berbeda-beda sesuai dengan tuntunan zamannya. Oleh karena itu, sebagai akhlak Islam, zuhud bisa berbentuk ajaran Futuwwah dan al-Itsar.

               Secara substansial, tasawuf memiliki beberapa ajaran yang berdimensi sosial, antara lain Futuwwah dan al-Itsar. Apabila Ibnu al-Husaini al-Sulami mengartikan Futuwwah (kesatria) dari kata fata (pemuda), maka untuk masa sekarang maknanya bisa dikembangkan menjadi seorang yang ideal, mulia dan sempurna. Atau bisa juga diartikan sebagai orang yang ramah dan dermawan, sabar dan tabah terhadap cobaan, meringankan kesulitan orang lain, pantang menyerah terhadap kedhaliman, ikhlas karena Allah dan berusaha tampil ke permukaan dengan sikap antisipatif terhadap masa depan dengan penuh tanggung jawab. Adapun arti al-Itsar yaitu lebih mementingkan orang lain daripada diri sendiri (QS. al-Hasr: 9). Keteladanan tentang dua hal tersebut dapat dilihat pada perilaku sahabat Abu Bakar yang rela memberikan seluruh hartanya demi kepentingan perjuangan Islam. Contoh lain adalah Abu Dzar, ketika diancam oleh Mu’awiyah dengan kemelaratan dan pembunuhan, dia justru menantangnya bahwa perut lebih disenangi daripada atasnya, kefakiran lebih disenangi daripada kaya.

               Latar belakang kehidupan social Abu Dzar sangat menarik jika dikaji. Ketika jabatan khalifah dipegang oleh Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar bin Khattab, dia tetap berjuang sebagaimana yang dilakukannya semasa Rasulullah saw. Namun ketika jabatan itu dipegang oleh Utsman bin Affan, situasi sosial ekonomi berubah, orang-orang kaya hidup berfoya-foya, sementara banyak orang miskin yang membutuhkan uluran tangan mereka tak tertolong. Keadaan demikian terjadi di Madinah maupun Syam. Abu Dzar prihatin, lalu mengadakan gerakan infak dengan mengutip ayat al-Qur’an (al-Taubah: 34), sehingga banyak orang kaya yang tersinggung. Mu’awiyah menjadi cemas dengan kegiatan ini, maka dia lapor kepada khalifah Utsman bin Affan. Abu Dzar dipanggil ke istana, dan terjadilah dialog panjang di sana. Ketika Utsman tersinggung dan terpojok, maka marahlah dia dan menyuruhnya pergi. Akhirnya dia diusir ke Rabadzah dan hidup di pengasingan ini sampai wafatnya.

               Kisah menarik lainnya adalah Hasan al-Bashri. Salah satu pendapatnya: “Jika Allah menghendaki seseorang itu baik, maka dia mematikan keluarganya sehingga dia dapat leluasa dalam beribadah.” Ucapannya yang lain: “Seseorang tidak akan sampai ke tingkatan shiddiqin, kecuali dia meninggalkan istrinya bagaikan janda, dan anak-anaknya bagaikan yatim.”. Sikap Hasan al-Bashri diatnggapi oleh Nurcholish Madjid sebagai sikap oposisi terhadap praktik-praktik rejim pemerintah kaum Umawi di Damaskus, karena penguasanya lebih didominasi orang-orang Arab Syiria. Tetapi sebagian lagi justru oposisi itu timbul karena pandangan bahwa kaum Umawi kurang “religius”.

               Dalam kajian ini jelas bahwa kezuhudan dan kesufian pada diri Abu Dzar dan Hasan al-Bashri menampilkan sikap peka terhadap masalah-masalah sosial. Dalam arti aktivitasnya itu bisa diberi makna sebagai protes dan tanggung jawab sosial mereka pada waktu itu. Menurut hemat penulis, sifat dan sikap tanggung jawab sosial ini ada pada diri seseorang (sufi) yang telah benar-benar menghayati ajaran Islam, yang tertanam dalam jiwanya “la yamliku syai’an wa la yamlikuhu syai’un” (tidak memiliki dan tidak dimiliki sesuatu), tawakkal, qana’ah, sabar, ridla, dan sebagainya.

               Bentuk keprihatinan lain dapat kita amati pada kisah hidup hujjah al-Islam, al-Ghazali dan berbagai komentar terhadapnya. Dia mengembara selama lebih kurang 10 tahun pada saat menderita “kegoncangan batin” yang luar biasa. Maka diarunginya kehidupan sufi, baik secara teoritis maupun praktis, sehingga dia memperoleh kesembuhan yang menurutnya, semata-mata berkat pancaran nur yang diberikan Allah ke dalam hatinya. Akhirnya dari situ dia memperoleh ilham kasyf.

               Menanggapi kisah hidup al-Ghazali ini, banyak kritik yang dilontarkan, misalnya oleh Zakki Mubarak yang menyatakan bahwa di tengah-tengah tuntutan perang dan perjuangan untuk negaranya, dia malah tenggelam dan asyik membaca wiridnya. Dan terhadap buku al-Ghazali yang ditulisnya ketika sembuh dari sakitnya, yakni Al-Munqid min al-Dlalal — karena berisi tentang kritik-kritik terhadap filsafat, teologi, fikih, dan tasawuf (aliran batiniyah) –, muncul pula komentar minor terhadapnya. Fuad al-Ahwani misalnya, mengibaratkannya bagaikan telah menyembelih ayamnya yang telah bertelur emas.

               Orang memang bebas untuk berkomentar, namun akan sangat bijaksana apabila mau melihat latar belakang terjadinya, atau factor sosio-historisnya. Montgomery Watt misalnya, menyatakan bahwa hubungan buruk al-Ghazali – yang sangat kuat berpegang pada ajaran moral – dengan penguaa Seljuk yang baru, menjadi faktor pemicu. Apalagi kematian Sultan Malik Shah dan Nizham al-Mulk adalah akibat pembunuhan yang dilakukan oleh pihak yang ambisius tadi, padahal hubungan al-Ghazali dengan para pembesar yang dibunuh tersebut sangatlah dekat.

               Kendati masa hidup al-Ghazali berada dalam periode klasik (650-1250 M), namun telah memasuki masa kemunduran atau disintegrasi (100-125). Sebenarnya kemunduran itu akibat dari konflik-konflik internal yang berkepanjangan, sehingga sama sekali bukan kesalahan al-Ghazali seorang. Pada waktu itu, posisi para khalifah tak lebih hanyalah sebatas “boneka” dan “simbol” di bawah dominasi Dinasti Buwaihi. Kekisruhan situasi seperti itu masih diperparah oleh ketegangan antara kaum fuqaha (ahli hukum) dan para teolog dengan para sufi (kaum batiniyah), juga para filosof, yang kadangkala menimbulkan ekses-ekses negatif dan tragis. Akibat lebih jauh, terjadilah polarisasi yang semestinya tak perlu terjadi, ulama fikih dan teolog sibuk dengan rumusan-rumusan dangkal dan kering dari nuansa spiritual. Sebaliknya para sufi tenggelam dalam emosi spiritual yang berlebihan sehingga terkesan mengabaikan batas-batas syari’ah, demikian pula rumusan-rumusan filsafat (Islam), dianggapnya telah “keluar” dari ajaran Islam.

               Maka “persaingan” yang tidak sehat tadi menumbuhkan keprihatinan yang mendalam pada diri al-Ghazali. Dia berdialog dan bersikap apresiatif dengan zamannya, sehingga berani mengambil resiko. Dia “lari” ke dunia tasawuf dengan tetap berpondasi di atas teologi dan fikih. Selain al-Munqidz tadi, karya monumentalnya, Ihya’ ‘Ulumuddin, merupakan paduan serasi dari kesatuan kebenaran yang dia pertahankan: fikih, teologi, dan tasawuf. Baginya, sikap inilah yang realistis. Hal-hal tersebutlah yang menyebabkan dia menempuh jalan ‘uzlah dan khalwat (menyendiri), sehingga menjauh dari masyarakat yang sebenarnya sangat menanti uluran tangannya. Dan dari sini muncullah konsep-konsep zuhudnya. Bagi al-Ghazali, orang yang bisa selamat ialah orang yang hatinya bersih dari kotoran, intim dengan Allah dan mencintai-Nya. Kebersihan akan tercapai apabila dapat mencegah keinginan-keinginan duniawi. Keintiman dengan Allah dapat tercapai apabila banyak berddzikir kepada-Nya. Dan cinta dapat tercapai apabila telah ma’rifat kepada-Nya.

               Melihat sebab-sebab yang begitu kompleks tetapi ia masih mampu berkarya, dan tak berlebihan sekiranya ia dinilai sebagai sosok yang prima, penuh semangat keilmuan, konstruktif, dan pembaharu. Dia memang seorang laki-laki yang dibutuhkan untuk menangkal Islam dari serangan filsafat Yunani, penyimpangan batiniyah dan penyelewengan para ulama dari ketulusan niat. Karena ketika itu kebanyakan masyarakat Muslim terjangkit penyakit moral dan social, posisi kerajaan sangat dominan, kekuasaan di tangan perorangan, telah menjadi faktor utama salam pembentukan kepribadian bangsa selama empat abad. Kehidupan mereka tidak lain hanya berfoya-foya dengan kemewahan materi dan ambisi kekuasaan.

               Dengan melihat sikap dan pemikiran tiga tokoh tasawuf yang telah disebutkan di atas, telah memberi contoh kepada kita tentang adanya tanggung jawab tasawuf dalam perspektif histories. Pada saat itu tasawuf telah memberikan reaksi terhadap situasi dan kondisinya masing-masing, dengan mencari solusi moral yang tepat, dengan menarik diri dari “keramaian” materiil dan kekuasaan, dan dengan kritik-kritik yang memberikan alternatif dari “kehancuran” ilmu dan amal. Dengan demikian maka tampaklah bahwa tasawuf membumi dan aplikatif terhadap problema yang dihadapi pada masanya.

               Menjelang abad XXI ini, tasawuf dituntut untuk lebih humanistic, empirik, dan fungsional. Penghayatan terhadap ajaran Islam, bukan hanya pada Tuhan, bukan hanya reaktif, tetapi aktif serta memberikan arah kepada sikap hidup manusia di dunia ini, baik berupa moral, spiritual, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Dan ketika tasawuf menjadi “pelarian” dari dunia yang “kasat mata” menuju dunia spiritual, bisa dikatakan sebagai reaksi dan tanggung jawab social, yakni kewajiban dalam melakukan tugas dan merespons terhadap masalah-masalah sosial.

               Melihat kenyataan yang ada, tak salah sekiranya kita mau memperhatikan pendapat Emile Dukheim, bahwa pemikiran dan perkembangan pribadi tidak terlepas sama sekali dari setting sosialnya. Maka kajian sosiologis-historis tadi dapat memberi jawaban negasi terhadap pernyataan bahwa pelarian dari kehidupan yang “kasat mata” itu merupakan kekalahan politik dan ekonomi. Mereka mencari kompensasi untuk menang dalam dunia spiritual, dengan jalan melakukan tahannuts, sebagaimana pernah dilakukan Nabi Muhammad saw. ketika masih mudanya. Sehingga fenomena itu memiliki makna yang positif, sebagai wujud dari sikap peka dan protes terhadap ketimpangan sosial yang ada pada waktu itu, sekaligus sebagai rasa tanggung jawab sosial.

               Saat ini kita berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern, atau sering pula disebut sebagai masyarakat yang sekuler. Pada umumnya, hubungan antara anggota masyarakatnya atas dasar prinsip-prinsip fungsional pragmatis. Mereka merasa bebas dan lepas dari kontrol agama dan pandangan dunia metafisis. Dalam masyarakat modern yang cenderung rasionalis, sekuler dan materialis, ternyata tidak menambah kebahagiaan dan ketentraman hidupnya. Berkaitan dengan itu, Sayyid Hosein Nasr (Dalam Dawam Rahardjo menilai bahwa akibat masyarakat modern yang mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi, berada dalam wilayah pinggiran eksistensinya sendiri. Masyarakat yang demikian adalah masyarakat Barat yang telah kehilangan visi keilahian. Hal ini menimbulkan kehampaan spiritual, yang berakibat banyak dijumpai oang yang stress dan gelisah, akibat tidak mempunyai pegangan hidup.

               Kegelisahan masyarakat modern ini antara lain disebabkan oleh perasaan takut kehilangan apa yang dimiliki, timbulnya rasa takut masa depan yang tidak disukai, rasa kecewa terhadap hasil kerja yang tidak mampu memenuhi harapan dan kepuasaan spiritual, dan karena dirinya banyak melakukan pelanggaran dan dosa (Abu al-Wafa al-Taftazani, 1993). Untuk itu Hosein Nasr menawarkan alternatif agar mereka mau mendalami dan menjalani tasawuf, karena ia dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan spiritual mereka. Di sini tanggung jawab tasawuf bukan melarikan diri dari kehidupan dunia nyata ini, akan tetapi ia adalah suatu usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai ruhaniah. Dalam tasawuf selalu dilakukan ddzikir kepada Allah sebagai sumber gerak, sumber norma, sumber motivasi, dan sumber nilai.

               Akibat lebih jauh dari modernisasi dan industrialisasi, manusia mengalami degradasi moral yang dapat menjatuhkan harkat dan martabanya. Kehidupan modern seperti sekarang ini sering menampilkan sifat-sifat yang kurang dan tidak terpuji, terutama dalam menghadapi materi yang gemerlap. Manusia, menurut ahli tasawuf, dalam kehidupannya selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya yang selalu ingin menguasainya (QS. Yusuf: 53). Agar hawa nafsu dikuasai oleh akal yang telah mendapat bimbingan wahyu, maka dalam dunia tasawuf diajarkan berbagai cara, seperti riyadlah dan mujahadah untuk melawan hawa nafsunya. Penulis yakin seandainya para pelaku pembangunan ini melaksanakan ajaran tasawuf, maka kebocoran yang mencapai sekian persen itu dapat dicegah atau teratasi.

               Adapun model tampilan di masa sekarang, bertasawuf tidak berarti harus menjauhi “kekuasaan”, tetapi justru “masuk” di tengah-tengah percaturan politik dan “kekuasaan”. Sebab mejauhinya bisa berarti menunjukkan ketidakberdayaan dan kelemahan. Apabila di zaman klasik ada fatwa “menjauhi dan oposisi terhadap kekuasaan”, sedikit dapat dibenarkan, karena kekuasaan pada waktu itu bersifat individual yang cenderung bernuansa tirani, namun zaman sekarang lebih bersifat kolektif.

               Keterlibatan langsung tasawuf (baca: tarekat) dalam kancah politik, dalam rentangan sejarah dapat disebut Tarekat Sanusiyah. Kelompok ini mampu menumbuhkembangkan semangat nasionalisme di berbagai daerah di Afrika Utara, sehingga Perancis diusirnya dari Algeria dan Sudan Tengah, dan Italia dihalaunya dari Libya. Demikian juga, Inggris di Mesir pun “mengakui” kepemimpinan tokoh spiritual Sanusiyah, Muhammad Idris. Dia pulalah yang mendirikan negara serikat Libya yang meliputi Cyrenaica, Tripolitania, dan Fezzan. Maka Bisworth mensejajarkan gerakan tarekat ini dengan kemampuan kaum Wahabi dan al-Sa’ud dalam mendirikan negara Arab modern.

               Dalam kiprahnya, tarekat ini tidak henti-hentinya bekerja dengan pendidikan keruhanian, disiplin tinggi, dan memajukan perniagaan yang menarik orang-orang ke dalam pahamnya. Maka Fazlur Rahman menceritakan bahwa tarekat ini menanamkan disiplin tinggi dan aktif dalam medan pejuangan hidup, baik sosial, politik, dan ekonomi. Pengikutnya dilatih menggunakan senjata dan berekonomi (berdagang dan bertani). Gerakannya pada perjuangan dan pembaharuan, dan programnya ebih berada dalam batasan positivisme moral dan kesejahteraan sosial daripada “terkungkung” dalam batasan-batasan spiritual keakhiratan. Coraknya lebih purifikasionis dan lebih aktivis, memberantas penyelewengan moral, sosial dan keagamaan, maka Fazlur Rahman menamakannya sebagai Neo-Sufisme.

               Peluang lain yang dapat menjadi “lahan” tasawuf di zaman modern ini adalah kenyataan masyarakat dunia yang serba majemuk (plural). Di belahan bumi mana pun, keanekaragaman, baik agama, budaya, bangsa, suku, adat istiadat, dan sebagainya, senantiasa dijumpai. Di satu sisi, suasana kemajemukan memang akan menampilkan keindahan “mozaik” yang warna-warni. Namun di sisi lain harus diwaspadai bahwa kondisi itu sangat rentang akan terjadinya perpecahan, kerusuhan, permusuhan, ataupun hal-hal lain yang sifatnya destruktif. Dalam ajaran tasawuf, banyak tokoh seperti al-Hallaj, Ibnu Arabi, dan sebagainya berpendapat bahwa keanekaragaman agama di dunia hanya sekadar bentuknya, sedangkan hakikatnya sama, karena semua mempunyai sumber yang sama dan bertujuan untuk menyembah kepada Sumber segala sesuatu, Tuhan Pencipta Alam Semesta. Tasawuf yang ajarannya menukik pada kedalaman hakikat seperti ini diharapkan mampu menumbuhkan sikap bersama yang sehat, mengakui segi-segi kelebihan orang lain, dan mendorong ama-sama melakukan kebaikan dalam masyarakat. Perbedaan yang ada diterima dalam kerangka perbedaan tanpa mempertentangkannya, atau menurut Mukti Ali, setuju dalam perbedaan (agree in disagreement).

               Dengan pemahaman sebagaimana tersebut di atas, pluralitas masyarakat modern dipandang sebagai sesuatu yang wajar, sebab telah menjadi sunnatullah. Tidak ada kehidupan tanpa pluralitas dalam arti antarumat, kecuali di Mekkah, Madinah, dan Vatikan (di Vatikan sekarang telah ada masjid). Tanpa mengurangi keyakinan masing-masing para pemeluk agama terhadap agamanya sendiri, keadaan watak dan tradisi masing-masing suku dan watak indivual, maka dalam suasana pluralitas ini sangat diperlukan sikap toleran, jujur, terbuka, wajar, dan adil. Maka tasawuf akan melihat hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan (tauhid al-Ilah atau wahdat al-adyan) yang bernenek moyang Adam a.s. (tauhid al-ummah). Dari sini mereka akan bertemu dalam satu titik (common platform), yang dalam al-Qur’an diistilahkan dengan kalimatin sawa (QS. Ali Imran: 64).

               Apalagi tuntutan yang muncul dari akibat modernisasi dan industrialiasi adalah perkembangan kemampuan intelektual agar memiliki kemampuan apreasiatif, dialogis, dan fungsional terhadap perkembangan Iptek. Tantangan kedewasaan dalam berpikir dan berkompetisi sangatlah diperlukan. Barangkali keberadaan tasawuf dapat menjadi alternatif lain, atau paling tidak menjadi stimulan. Karena secara epistemologis, tasawuf memakai metode intuitif, yang di abad ini dapat dijadikan salah satu alternatif dari rasionalisme dan empirisme, dan membatunya untuk melakukan terobosan baru dalam berbagai hal. Jika intuisi dapat meluas maka ia dapat memberi petunjuk dalam hal-hal vital dari dunia yang berasal dari dalam dan langsung, bukan dengan intelek

               Melihat kenyataan di atas, secara hipotesis dapatlah dikatakan bahwa spiritualitas dapat berjalan seiring dengan rasionalitas. Maka tidaklah mengherankan sekiranya di zaman sekarang banyak orang yang semakin terbenam dalam pekerjaan intelektual, semakin rindu pula kehangan spiritualitas (sufisme). Di Barat disinyalir belakangan ini beberapa pemenang hadiah Nobel adalah para ilmuwan yang sangat besar kecenderungan mistiknya. Dan dalam filsafat ilmu, ada aliran romantisme yang menganggap bahwa penemuan-penemuan ilmiah dimulai dari pengalaman mistik.

               Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab tasawuf sekarag ini sangatlah kompleks, bukan lagi bersifat isolasi diri, namun sebaliknya, harus aktif mengarungi kehidupan ini secara total, baik dalam aspek social, politik, ekonomi, dan sebagainya. Dengan demikian, peran tasawuf lebih empirik, pragmatis dan fungsional dalam kehidupan ini.